Tampilkan postingan dengan label Hadist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadist. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 November 2015

Siapakah yang Disebut Wali Allah?



Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, ‘Siapa yang memusuhi wali (kekasih)-ku maka aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’” (H.R. Bukhari)

Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu merupakan hadits qudsi. Yakni firman Allah yang disampaikan dengan redaksi dari Rasulullah Saw. Hadits itu memberikan peringatan keras agar kita tidak memusuhi wali (orang dicintai) Allah. Kepada orang yang memusuhi atau menyakiti wali Allah itu, Dia menyatakan perang. Artinya, Allah sangat tidak suka dan memusuhi orang yang memusuhi kekasih-Nya.

Namun, siapakah yang disebut wali (kekasih) Allah itu? Kita amat perlu mendapat kejelasan tentang orang macam apa yang disebut wali Allah itu. Sejauh ini –di negeri kita tercinta Indonesia—para wali Allah dilukiskan sebagai sosok orang sakti. Tengok saja misalnya penggambaran para wali dalam film-film atau sinetron-sinetron. Wali sering dilukiskan sebagai sosok dengan pakaian jubah putih lusuh; rambut, jenggot, dan kumis panjang seperti tak terurus; punya kesaktian seperti terbang melayang di udara atau berjalan di atas air. Tidak ketinggalan tongkat dan tasbih yang selalu dibawa ke mana pun pergi. Dia tidak punya kecenderungan, bahkan sekadar peduli dengan urusan dunia. Apa pekerjaannya? Bertapa dan mengisolasi diri dari kehidupan.

Bahkan, ada wali –yang dilukiskan dalam sebuah film- melakukan pertapaan di sebuah hutan, di tepi sungai entah berbilang bulan entah tahun, yang jelas sampai seluruh tubuhnya diselimuti lumut hijau dan menjadi tempat bertenggernya burung-burung yang lewat di sana. Maasyaa Allah! Lalu, bagaimana dengan shalatnya, dengan ibadah-ibadah lainnya?

Itu memang film. Di dunia nyata, persepsi tentang wali Allah tidak kalah anehnya. Ada seseorang yang dianggap ulama. Pada suatu hari dia menjadi narasumber dalam sebuah seminar. Ada seorang peserta seminar yang jeli, memperhatikan ternyata sang narasumber tadi tidak melakukan shalat. Zhuhur lewat. Ia pikir mungkin akan dijama’ dengan shalat Ashar. Tetapi Ashar pun lewat dan Ia tidak juga terlihat melakukan shalat hingga maghrib tiba. Ketika orang itu menyampaikan rasa penasarannya kepada orang yang dianggap punya hubungan baik dengan sang kiai, ia malah menjawab, “Lha, dia itu wali! Jadi sudah tidak perlu shalat seperti kita!” Ketika sang penanya mendebat, pembela kiai itu mengeluarkan kata pamungkas, “Sudahlah, ilmu kamu itu belum sampai...” Dan karenanya, dia tidak pernah bersalah dan tidak boleh dianggap salah.

Ada lagi sebuah kisah. Di sebuah pesantren ada seorang kiai yang menjadi pimpinan di sana. Saat para santri dan masyarakat shalat berjamaah, sang kiai tidak pernah terlihat ikut shalat. Padahal, dia tidak pernah pergi meninggalkan pesantrennya. Ketika hal itu ditanyakan kepada orang-orang terdekatnya, mereka menjawab, “Dia itu shalatnya di Masjidil Haram, di Mekah sana. Dia itu wali, jadi tidak seperti kita.” 

Begitulah contoh-contoh persepsi tentang wali Allah: wali adalah makhluk aneh, tidak tersentuh oleh jangkauan manusia biasa, bisa dan boleh melakukan apa pun, dan boleh tidak melakukan ibadah.

Wali Allah menurut Islam
Wali (bentuknya jamaknya auliya) berasal dari bahasa Arab, makananya ‘orang yang dekat’, ‘orang yang membela’, atau ‘orang yang dicintai’.  Dengan demikian, waliyullah atau wali Allah adalah orang yang dekat kepada Allah, membela agama Allah, dan mencintai serta dicintai Allah.

Manusia macam apa yang berpeluang menjadi wali Allah? Wali Allah ternyata bukan hanya disandang kalangan yang memiliki gelar terentu seperti ulama atau kiai. Allah Swt. menegaskan dalam ayat-Nya, “Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak akan merasakan takut dan tidak akan bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Q.S. Yunus [10]: 62-63)

Jadi, berdasarkan ayat tersebut, sesungguhnya wali bukanlah gelar bagi orang tertentu. Dan seseorang disebut wali bukanlah ditandai dengan kemampuannya menampilkan hal-hal ajaib seperti terbang atau berjalan di atas permukaan air, tidak pula dengan kemampuan mengubah butiran padi menjadi untaian emas. Wali adalah siapa pun yang beriman dan selalu bertakwa kepada Allah Swt. Entah dia memiliki kemampuan menampilkan hal-hal ajaib atau tidak. Itu bukan ukuran. Sebab, orang musyrik seperti penyihir, boleh jadi lebih punya kekuatan untuk menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilakukan orang lain.

Dari hadits itu juga kita dapat mengambil pelajaran bahwa ada dua peringkat kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt. Peringkat pertama, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan perkara-perkara wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang aku wajibkan kepadanya.” Al-Quran menyebutnya dengan istilah muqtashid (golongan pertengahan). Perhatikan ayat berikut ini. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.S. Faathir [35]: 32)

Peringkat kedua, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berusaha keras melaksanakan perkara-perkara sunah (nawafil), setelah melaksankan perkara-perkara yang diwajibkan (faraidh), dan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang makruh karena khawatir terjerembab ke dalam perbuatan haram. Dalam ayat di atas, orang semacam ini dikategorkan sabiqun bil-khairat (unggul dalam kebaikan).

Buah dari kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah adalah kedekatan Allah dan kecintaan-Nya kepada orang itu. Dan, “Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’”

Apa makna memusuhi?
Para ulama menyebutkan dua pemahaman terkait dengan penggalan akhir hadits itu. Pertama, Allah-lah penjaga pendengaran, pandangan, tangan, dan kaki orang itu agar tidak terjerembab ke dalam kemaksiatan. Kedua, keimanan dan ketakwaan seseorang akan mengantarkan dirinya pada muraqabatullah (kesadaran bahwa diri dipantau oleh Allah Swt.). Kesadaran inilah yang membuat seluruh anggota tubuh tidak bergerak dan bertindak selain dalam hal-hal dan dengan cara yang diridhai Allah Swt. Meminjam ungkapan ulama salaf (terdahulu), “Orang itu tidak pandai melakukan maksiat.” Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib–semoga Allah meridhai keduanya—pernah mengatakan, “Kami melihat setan (yang menguntit) Umar itu takut untuk menyuruhnya melakukan keburukan.”

Hal lain yang Allah jamin untuk orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya adalah, “Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.”

Sikap apa yang dapat kita terapkan dalam hidup kita dari hadits di atas?
Pertama, kita senantiasa mencintai dan tidak memusuhi orang-orang saleh, orang-orang yang Allah cintai. Berada pada urutan pertama dalam jajaran orang-orang yang wajib kita cintai adalah para nabi, terutama Nabi Muhammad Saw., selanjutnya adalah para sahabat Nabi Muhammad Saw. antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan semua sahabat Nabi–semoga Allah meridoi semuanya. Bentuk permusuhan kepada mereka, misalnya dengan cara mencaci maki, mengkafirkan, dan menganggap mereka murtad. Mengkafirkan dan mencaci para sahabat Nabi sama dengan mendustakan ayat-ayat Al-Quran yang telah memosisikan mereka pada tempat terhormat dan dicintai Allah Swt., misalnya dalam Surat Al-Taubah (9) ayat 40.

Kedua, kita selalu berusaha melaksanakan segala kewajiban yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan dan menghindari segala yang diharamkan. Selain itu, kita sebaiknya menyempurnakannya dengan melaksanakan amalan-amalan yang sunah.

Ketiga, jangan lupa untuk tidak bosan-bosan berdoa kepada Allah dan meminta perlindungan-Nya. Wallahu a’lam.

Senin, 13 Juli 2015

Menjaga Allah





عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا غُلاَمُ اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ (رواه الترمذي)

Dari Abul‘Abbas ‘Abdullah bin Abbas –semoga Allah meridoinya— ia mengatakan, “Aku berada di belakang Rasulullah saw. beliau mengatakan, “Nak, Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Jika engkau memohon mohonlah kepada Allah dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi)

Setiap mukmin pasti merindukan dan sekaligus meyakini hadirnya kejayaan atau kemenangan Islam. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah tegak dan dilaksanakannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan manusia. Baik dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, ekonomi, politik, maupun urusan lainnya. Nilai-nilai Islam yang dimaksud tentu bukan saja perilaku-perilaku saleh individual, akan tetapi juga kesalehan yang berdaya guna misalnya keadilan, kejujuran, dan keberpihakan kepada kebenaran, apa pun risikonya.

Tentu saja kemenangan itu tidak akan terwujud kecuali jika setiap muslim berusaha optimal, dalam batas-batas kemampuan manusiawi. Usaha optimal untuk mencapai kemenangan itu dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, dan seterusnya. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa sehebat apa pun segala upaya yang dilakukan manusia bisa tidak punya makna sama sekali manakala tidak mendapat perkenan Allah swt. Sebaliknya, betapa pun serba terbatasnya kaum muslimin –dalam hal material dan kuantitas personal— dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan, jika Allah berkehendak untuk mengaruniakan kemenangan, tak satu kekuatan pun dapat menghalanginya.

Persoalannya adalah, apakah kita termasuk orang yang layak mendapat pertolongan Allah itu? Tentu ada prasyarat pertolongan Allah turun kepada kita. Nah, hadis ini sarat dengan pesan-pesan luhur yang akan mengantarkan kaum muslimin mencapai kemenangan yang didambakan. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan, “Saya merenungi hadis ini dan saya benar-benar terperangah. Amat disesalkan bila ada yang tidak memahami makna hadis itu.”

Ihfazhillah, jagalah Allah! Menjaga Allah, kata Abul Faraj al-Hambali dalam kitabnya  Jami’ul-‘Ulumi wal Hikam adalah menjaga aturan-aturan, hak-hak, perintah-perintah, dan larangan-larangan Allah swt. Tentu saja, hal tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika seseorang melakukannya, ia termasuk orang-orang yang menjaga aturan-aturan Allah seperti yang disebutkan dalam ayat-Nya,

Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) pada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak terlihat (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.S. Qaaf 50: 32-33)

Kata ‘Hafizh’ (حفيظ) yang tercantum pada ayat di atas ditafsirkan dengan “menjaga (melaksanakan) perintah-perintah Allah dan menjaga diri dari dosa-dosa dan selalu bersegera untuk bertaubat jika melakukan kesalahan-kesalahan.” Di antara perintah-perintah agung yang harus dijaga oleh setiap muslim adalah:

1. Shalat
Secara eksplisit, Allah swt. memerintahkan kita menjaga shalat. Firman-Nya,

Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusu.” (Q.S. Al Baqarah 2: 238)

Dalam ayat lain, Allah memuji orang-orang yang memelihara shalat. Firman-Nya,
Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (Q.S. Al Mu’minuun 23: 9)

Semakin banyak aktivitas, semakin berat beban perjuangan, semakin besar target yang ingin kita capai, seharusnya semakin membuat kita dekat dengan Allah. Momentum seorang hamba sangat dekat dengan Allah adalah saat ia bersujud. “Keadaan yang paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah saat dia sujud. Maka perbanyaklah doa dikala sujud itu,” demikian sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. 

Jadi, sangat ironis bila semakin banyak kegiatan malah shalat semakin terlalaikan; dan lebih celakalah lagi bila shalat itu dilalaikan justru dengan alasan kesibukan. Tidak akan ada barokah dari aktivitas yang melalaikan shalat. Apa pun alasannya. Termasuk dengan alasan bahwa yang penting adalah shalat aktivitas. Yang dimaksud dengan shalat aktivitas adalah kegiatan yang diklaim sebagai perjuangan menegakkan kebenaran. Itu saja dianggap cukup, sekalipun meninngalkan shalat. Pasti perjuangan itu bukan di jalan Allah melainkan di jalan thaghut.

2. Janji atau sumpah
Integritas dan kredibilitas seseorang dapat dilihat antara lain, dari tingkat komitmennya terhadap sumpah dan janji. Karenanya, Allah swt. memesankan agar orang beriman berpegang teguh kepada janji atau sumpah yang dibuatnya. Firman-Nya,

Dan peliharalah sumpah-sumpah kalian.” (Q.S. Al Maidah 5: 89)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. An-Nahl 16: 91)

Lebih berat lagi bobot janji itu apabila pelanggarannya dapat menyebabkan kesengsaraan orang banyak. Misalnya, janji atau sumpah jabatan. Atau janji yang dibuat untuk menarik dan merekrut orang agar mendukung dirinya dan berpihak kepadanya.

3. Kepala dan Perut
Di antara hal yang wajib dijaga adalah kepala dan perut. Rasulullah saw. bersabda,

اَلإِسْتِحْيَاءُ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى (خرجه الإمام أحمد والترمذي والبزار)

Malu yang sebenarnya kepada Allah adalah engkau menjaga kepala dengan segala yang termuat di dalamnya dan menjaga rongga perut dengan segala yang dikandung di dalamnya.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Bazzar)

Menjaga kepala dengan segala yang termuat di dalamnya di antaranya dengan menjaga pendengaran, penglihatan, dan lidah dari hal-hal yang diharamkan. Sedangkan menjaga rongga perut adalah dengan menjaga hati dari segala penyakit hati.

Penjagaan Allah
Penjagaan Allah kepada hambanya menyangkut dua hal: pertama, kemaslahatan duniawi, seperti penjagaan fisik, anak, keluarga, dan harta. Ini seperti yang Allah firmankan,
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.S. Ar-Ra’d 13: 11)

Ini terjadi misalnya pada Safinah –maula (sahaya yang dimerdekakan oleh) Nabi saw.— saat perahu yang dinaikinya pecah dan terdampar di sebuah pulau. Ketika menyusuri hutan, ia bertemu dengan seekor singa. Ternyata singa itu memberi petunjuk jalan. Setelah itu sang singa pergi.

Kedua, penjagaan dalam urusan agama, keimanan, dan akhlak. Allah menjaga para hambanya dari perkara-perkara yang merusak iman dan akhlak, hingga mereka meninggal dunia dalam keadaan iman. Betapa saat-saat ini kita membutuhkan pemeliharaan iman.

Ketiga, sebagai buah dari terpeliharanya agama, keimanan, dan akhlakyang menjadikan kaum muslimin layak mendapat kemenangan dan kejayaan. Seperti disebutkan dalam firman-Nya,

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan kamu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Al Anfal 8: 47)

Kesunggguhan cita-cita untuk menegakkan kebenaran dengan berbagai upaya harus dibuktikan dengan sikap sungguh-sungguh dalam melakukan pendekatan kepada Allah. Dan kejujuran menegakkan syariat Islam harus dibuktikan dengan kejujuran melaksanakannya, baik dalam diri pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam segala peran yang diembannya. Wallahu a’lam.

Selasa, 16 September 2014

Memperkuat Tubuh Ummat Islam





مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ  فِيْ تَرَاحُمِهِمْ  وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ
إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
(رواه البخاري ومسلم)
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain yang memiliki pesan sama adalah,

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخاري ومسلم)
Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Apa yang disabdakan Rasulullah saw. dengan dua hadis di atas melukiskan gambaran ideal umat Islam. Di masa Rasulullah saw. dan generasi awal umat mukmin, keadaan itu merupakan realitas, bukan mimpi. Bila kita merenungkan hadis-hadis di atas seraya membuka lembaran-lembaran sejarah kehidupan assalafus-shalih (generasi terdahulu yang saleh), niscaya kita akan menemukan kenyataan-kenyataan ini:
Pertama, kaum mukminin mewujud bagaikan tubuh manusia sempurna atau bangunan kokoh. Segala kekuatan yang ada padanya semakin menambah kokohnya bangunan atau tubuh itu. Layaknya tubuh yang sehat, setiap anggota tubuh itu memiliki sensitivitas terhadap apa yang terjadi pada anggota tubuh lainnya.
Kedua, satu sama lain saling memelihara, saling menjaga, saling menguatkan, dan saling mendukung, sehingga tercipta ikatan sosial yang solid.
Ketiga, semua bagian bangunan itu secara bersama-sama memelihara segala aset kebaikan yang dimilikinya dan meninggalkan atau membuang hal-hal yang merugikan. Aset-aset yang dimaksud, baik aset fisik-material seperti kekayaan alam, maupun nonfisik, seperti tradisi gotong royong dan budaya malu.
Keempat, setiap bagian dari umat itu berada pada posisi masing-masing secara tepat dan masing-masing bekerja untuk mencari solusi bagi problem-problem yang dihadapi dalam kehidupan.
Sifat-sifat itu tergambar dalam kisah yang dituturkan hadis berikut,
Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. guna mengadukan perihal kemelaratan yang dideritanya, lalu ia pulang. Maka Rasulullah saw. mengatakan kepadanya, ‘Pergilah hingga kamu mendapatkan sesuatu (untuk dijual).’ Orang itu lalu pergi dan pulang lagi (menghadap Rasulullah saw.) dengan membawa sehelai kain dan sebuah cangkir. Orang itu lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sebagian kain ini biasa digunakan keluarga saya sebagai alas dan sebagiannya lagi sebagai penutup tubuh. Sedangkan cangkir ini biasa mereka gunakan sebagai tempat minum.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga satu dirham?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. berkata lagi, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga lebih dari satu dirham.’ Seorang laki-laki mengatakan, ‘Aku akan membelinya dengan harga dua dirham.’ Rasulullah saw. berujar, ‘Kalau begitu kedua barang itu untuk kamu.’ Lalu Rasulullah saw. memanggil orang (yang menjual barang) itu seraya mengatakan, ‘Belilah kapak dengan satu dirham dan makanan untuk keluargamu dengan satu dirham. Orang itu kemudian melaksakan perintah itu lalu datang lagi kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. memerintahkan kepadanya, ‘Pergilah ke lembah itu dan janganlah kamu meninggalkan ranting atau duri atau kayu bakar. Dan janganlah kamu menemuiku selama lima belas hari.’ Maka orang itu pun pergi dan mendapatkan uang sepuluh dirham. Rasulullah saw. mengatakan, ‘Pergi dan belilah makanan untuk keluargamu dengan uang lima dirham.’ Orang itu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Allah telah memberikan barokah dalam apa yang kau perintahkan kepadaku.’” (H.R. Baihaqi)

Hadis di atas melukiskan betapa setiap orang berupaya untuk merasakan nasib saudaranya. Bukan itu saja. Mereka berupaya mencarikan solusi. Solusinya pun bukanlah solusi yang mematikan keberdayaan melainkan justru solusi yang juga sekaligus memberdayakan. Dan lebih menarik lagi, Rasulullah saw. sebagai pimpinan tertinggi, terlibat langsung dalam upaya perwujudan nilai-nilai kebersamaan dan kepaduan itu sekaligus merumuskan dan mengeksekusi jalan keluarnya. Tentu saja kondisi umat Islam yang seperti itu bukan muncul dengan sendirinya. Masyarakat ideal dengan soliditas tinggi yang ada di zaman Rasulullah saw. adalah hasil tempaan beliau dengan tarbiyah robbaniyyah (pendidikan ala Allah swt.) dan dalam waktu yang bukan sebentar.
Dengan kualitas seperti itu, kita dapat melakukan banyak hal dan mencapai banyak kesuksesan. Konspirasi yang selalu digalang oleh orang-orang kafir juga tidak akan menemukan efektivitasnya manakala umat Islam dalam kondisi solid bagaikan satu tubuh. Allah swt. berfirman,

وأطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا
وتذهب ريحكم واصبروا إن الله مع الصابرين

Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian bercerai-berai sebab kalian akan gagal dan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Al Anfal 8: 46)

Rasulullah saw. telah melakukan hal terbaik untuk mewujudkan segala kebaikan pada umat ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan apa yang sudah dilakukan dan digariskan Rasulullah saw. khususnya dalam hal mewujudkan kepaduan tubuh umat Islam? Sekadar urun rembuk dari penulis, langkah-langkah berikut tampaknya perlu menjadi komitmen kita bersama, terutama kalangan du'at (para juru dakwah):

Pertama, menegaskan kembali pemahaman dan keyakinan kita bahwa Islam bukan agama individual. Ajaran Islam menghendaki setiap orang menjadi orang yang beriman, bertakwa, dan saleh. Namun itu saja tidak cukup, harus ada kesalehan kolektif. Salah satu indikator kesalehan kolektif adalah adanya perhatian dan kepedulian terhadap nasib sesama muslim. Rasulullah saw.  bersabda,
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (الطبراني)
Barangsiapa tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka. (H.R. Ath-Thabrani)
Kebersamaan dalam iman dan ketakwaan ini juga berperan besar dalam menumbuhkan ketahanan dan kesabaran, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam kancah pertarungan. Allah swt. berfirman,
واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan rido-Nya.” (Q.S. Al Kahfi 18: 28).
Kedua, karenanya setiap kita harus terus memotivasi diri untuk mensalehkan diri sendiri dan berusaha mensalehkan orang lain. Dia harus terbiasa melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar (memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang buruk). Dan sikap itu merupakan karakter dasar mukmin sejati. Allah swt. menggambarkan hal itu,

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة
ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسول
أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم

Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan mencegah dari yang buruk, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah 9: 71)

Tanggung jawab paling minimal seorang mukmin dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah terhadap keluarga. Oleh karena itu, seorang mukmin harus memiliki perencanaan sejak pernikahan, dari mulai memilih calon pendamping hidup. Tentang kewajiban ini Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة
غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim 66: 6)

Ketiga, mengarahkan loyalitas dan pembelaan hanya kepada Allah, Rasulullah saw., dan kepada sesama mukmin, bukan kepada figur. Lebih-lebih bila figur itu adalah sosok yang menawarkan penyimpangan dari aqidah Islam. Adalah bencana besar bila dakwah melahirkan loyalitas (wala) kepada figur tertentu, diri sang da'i, misalnya. Sebab loyalitas kepada figur merupakan celah yang menganga lebar bagi munculnya sikap kultus. Bangsa Indonesia telah dibuat sengsara oleh perilaku kultus itu. Karena kultus mengarahkan pada sikap, “Tidak ada kebenaran selain yang datang dari figur tersebut”.

Kesetiaan utama seorang muslim adalah kepada Allah, Rasulullah saw., dan kaum mukminin. Allah dan Rasul-Nyalah yang dijadikan sebagai sumber kebenaran. Dan Allah dan Rasul-Nya pula yang menjadi muara kesetiaan dan kecintaan. Oleh karena itu, loyalitas dan kesetiaan mukmin hanya akan diberikan kepada sesama mukmin selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman-Nya,

إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين
يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون

Wali (pemimpin, kekasih, penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S. Al Maidah 5: 55)

Tanpa loyalitas yang benar, seperti disebutkan dalam ayat di atas, orang bisa tersinggung dan marah karena tokoh idolanya dikoreksi, dikritik, atau diprotes. Tapi tidak terusik kalbu dan perasannya manakala Islam dihujat, hukum Islam diinjak-injak, Rasulullah saw. dihina, dan umat Islam dibantai.

Keempat, untuk menunjang upaya di atas, kita –terutama para da'i— hendaknya mampu menonjolkan persamaan-persamaan, bukan sebaliknya: mengekspos perbedaan-perbedaan. Disadari bahwa ada banyak perbedaan di kalangan umat Islam. Namun bukanlah sikap bijak untuk menggelembungkan perbedaan-perbedaan itu melebihi porsinya.

Tentu berbeda halnya jika perbedaan itu menyangkut masalah yang asasi, seperti masalah aqidah atau masalah-masalah yang telah menjadi ijma' ulama. Contoh untuk yang terakhir adalah perbedaan dalam menyikapi komunisme, zionisme, atau pemurtadan. Ini masalah prinsipil, baik dari segi aqidah maupun dari tinjauan historis. Al Quran telah dengan tegas memberikan informasi kepada kita bahwa Yahudi adalah musuh yang selalu membuat makar dan memendam kedengkian dan kebencian kepada kaum muslimin. Dalam hal-hal yang dianggap perbedaan "tidak prinsipil", tentu bukan pula berarti pintu telah tertutup bagi pembahasan dan kajian. Dengan syarat, hal itu dilakukan secara ilmiah dan hati dingin. Bukan mencari kemenangan dan mengumbar kebencian serta permusuhan.

Dan kelima, para da'i dituntut mampu atau paling tidak berusaha menggali, menumbuhkan, memelihara, mengarahkan, lalu merekat dan merakit potensi umat itu. Umat sesungguhnya memiliki banyak potensi. Permasalahan yang menghadang adalah pemberdayaan potensi tersebut. Dan gerakan dakwah sesungguhnya adalah yang paling bertanggung jawab untuk tugas itu.
Memang, membangun kembali kaum mukminin agar menjadi seperti satu tubuh bukanlah hal enteng, tapi juga bukan hal mustahil. Kalaupun masing-masing kita belum mampu menyelesaikan masalah, paling tidak janganlah menjadi pembuat atau penambah masalah. Wallahu a’lam

Selasa, 28 Februari 2006

Islam Memang Moderat



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا (البخاري)

Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu melainkan pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan sikapilah dengan gembira (lapang dada).” (H.R. Bukhari)

Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitabul-Mardha bab "Tamannil-maridhi almauta" (orang sakit mengangankan mati) dan dalam Kitabur-Riqaq bab "Al-qashdu wal-mudawah 'alal-'amal" (bersikap tengah dan kontinyu dalam beramal).

Penjelasan Rasulullah saw. di atas menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam adalah moderat dan jauh dari ekstremitas. Al Quran dan Sunnah telah menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia mencapai kebaikan, kebahagiaan, dan kejayaan dunia serta akhirat. Tidak ada sesuatu pun yang membuat manusia bahagia melainkan pasti dijelaskan oleh Islam. Dan tidak ada pula sesuatu yang membuat manusia celaka melainkan pasti diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam menjelaskan hukum-hukum itu, ada nash-nash yang amat rinci di antaranya penjelasan mengenai praktik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah seperti itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain yang diterangkan secara rinci misalnya pembagian harta waris. Siapa yang berhak memperolah harta waris dan berapa bagian untuk masing-masing orang yang berhak itu.

Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu, yakni para ulama dengan kualifikasi dan persyaratan tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini banyak berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan sebagainya. Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan oleh Islam.

Semuanya tercantum lengkap dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Dan itulah parameter dan acuan kita ber-Islam. Tanpa parameter itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena seseorang tidak suka dengan cara temannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam –yang belum tentu salah— dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang yang selalu mengambil pilihan yang sulit dan ‘keras’ akan menuduh orang yang berbeda dengan dirinya sebagai orang yang tidak komit, lembek, dan penakut. Jadi, tidak ada Islam ekstrem, yang ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw.,

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
 هَلَكَ اْلُمتَنَطِّعُوْنَ, قَالَهَا ثَلاَثًا. (رواه مسلم) 

Dari Abi Mas'ud r.a., Nabi saw. bersabda, Binasalah mutanath-thi’un.” Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (H.R. Muslim)

Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata ‘mutanath-thi’un’ yang ada dalam hadis itu, “Mutanath-thi’un adalah orang-orang yang mendalam-dalami (secara memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang tidak seharusnya keras.”

Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan Islam? Banyak sebab, antara lain:

Pertama, Ilmu Kurang Memadai
Membela dan menegakkan Islam memerlukan kecukupan ilmu. Semangat saja belumlah cukup. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak menguasai sendi-sendi hukum dalam Islam dapat pula memunculkan ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi –semoga Allah menjaganya- menggunakan istilah "dha’ful-bashirati bihaqiqatid-din" (lemahnya pemahaman tentang hakikat agama) untuk menggambarkan hal itu.

Lebih jelasnya beliau menyebutkan, “Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan mutlak tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan sikap ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya pegangan dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama.” (Lihat Ash-Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)

Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku mudah mengafirkan orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib dimiliki oleh para da’i. Ini ditegaskan dalam Al Quran,

قُلْ هذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْ إَلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Q.S. Yusuf 12:108)

Kedua, Memahami Syari’at Islam secara Parsial
Islam diturunkan oleh Allah sebagai din syamil (agama yang komprehensif). Oleh karena itu ia harus dipahami secara syamil pula. Pemahaman parsial tentang Islam (syari’at Islam) mempunyai peran besar dalam memunculkan perilaku ekstrem. Syari’at Islam merupakan bangunan utuh yang satu komponen dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya adalah aqidah dan keimanan. Lantai pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta’abbudi) adalah lantai kedua. Lantai ketiganya adalah muamalat dengan segala cabangnya. Dan bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian itu.

Sesungguhnya syari’at Islam bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan, hukum rajam, atau hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata Islam, menegakkan syari’at Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait dengan hal ini, Dr. ‘Ali Juraisyah menegaskan:

“Bukan hanya dengan hudud syari'at Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah. Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syari’at. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”

Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa “mendirikan” negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah lebih penting dari membina aqidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena kesemuanya itu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari integritas Islam.

Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada bagian yang oleh para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.

Dari situ jelas bahwa aqidah bukan saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia merupakan bagian dari pembahasan iman kepada Allah. Iman kepada Allah adalah rukun pertama dari rukun iman. Selain mempunyai rukun, iman juga mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat “hanyalah” satu dari rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian asasi dari Islam dan bukanlah keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada zikir, ada ukhuwwah, ada khusyu, ada tawadhu’, ada jihad, dan seterusnya.


Ketiga, Tergesa-gesa
Untuk mencapai tujuan selalu ada proses. Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik tujuan itu terkait dengan dunia maupun terkait dengan akhirat. “Apabila untuk mencapainya mengambil jalan pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil berkeyakinan bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan mengantarkan kepada tujuan, ini jelas kesalahan besar. Dari sinilah berangkatnya sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah,” kata Dr. Muhammad Zuhaili.

“Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa nafsunya dan merasa bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya juga diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah jalan yang salah atau kurang,” imbuh Muhammad Zuhaili. (Al-I’tidal Fit-tadayyun hal. 11-12)
           
Sikap isti’jal kerap muncul dan seringkali tampil sebagai ekstremitas. Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi ketika cita-cita menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan kesabaran untuk menempuh perjalanan yang pernah ditempuh Rasulullah saw. Dr. Sayyid Muhammd Nuh menggambarkan sikap isti’jal itu, “Ia ingin mengubah kondisi atau realitas kehidupan kaum Muslimin dalam waktu sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub dan wasilahnya.” (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)

Akibat ketiga hal itu, muncullah sikap-sikap ekstrem, tidak seimbang, dan sikap memberat-beratkan sesuatu yang sesungguhnya ringan. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat ayat:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al Baqarah 2: 185)

Islam diturunkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasulullah saw. dalam keadaan mudah, adil, seimbang, dan wasath (moderat). Jadi, yang paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh ajaran Islam. Dan ekstremitas sering ditampilkan justru oleh orang-orang yang  meninggalkan Islam atau menyimpang dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam.