Psikiater dan Resimen bagian Psikiatri RS Hasan
Sadikin Bandung
Apa sebenarnya marah itu?
Dalam ilmu psikiatri, marah digolongkan sebagai
bentuk symptom atau gejala atas adanya suatu penyakit dalam tubuh.
Gejala-gejala tersebut antara lain digolongkan ke dalam agresif, impulsif,
halusinasi, dan waham (suatu keyakinan salah yang mendarah daging pada
diri seseorang). Marah digolongkan ke dalam jenis gejala agresi yang positif
karena terdapat banyak neurotransmitter (perantara jalannya impuls di
tubuh) pada saat marah dan juga karena seorang yang marah menjadi aktif,
mengeluarkan energi, dan mengekspresikan perasaannya. Bukan gejala yang negatif
seperti depresi yang cenderung menjadi pasif. Dan pada semua penyakit gangguan
jiwa, terlebih yang berat, marah itu selalu ada. Terutama pada para lansia.
Jadi, marah itu sesuatu yang tidak bagus?
Marah cenderung merusak, walaupun secara
fitrahnya, marah adalah sesuatu yang lumrah. Sebenarnya, marah juga ada manfaatnya.
Allah saja bisa murka. Nabi pun bisa marah, seperti kepada sahabat yang tidak
ikut perang. Marah yang dibingkai dengan syariah dan sunah berlangsung sebentar
dan tidak berkelanjutan. Kalau marah yang berkelanjutan, akan merusak tubuh
karena hormon yang bekerja dalam tubuh akan meningkat terus. Marah dengan
reaksi wajarlah yang dikategorikan marah yang positif.
Kalau begitu, apa saja penyebab marah?
Marah disebabkan adanya impuls, ada yang
eksternal maupun internal. Eksternal seperti dari lingkungan yang tidak
kondusif dan keras dan makanan yang berprotein tinggi. Internal dari faktor
hormonal dan kadar oksigen yang rendah. Impuls ini akan meningkatkan
agresivitas seseorang. Saat kendali emosi seseorang rendah karena penyakit dan
memang kepribadiannya yang kurang stabil, impuls lebih mudah memicu
agresivitas. Jadi, perjalanan penyakit seseorang bisa menyebabkan rendahnya
kendali emosi. Contohnya, ketika orang merasa sakit gigi, ia menjadi lebih
mudah marah.
Hormon apa saja yang dihasilkan tubuh ketika marah?
Secara kajian biologi molekular, saat marah
terjadi peningkatan konsentrasi neurotransmitter dompamine pada neuron
otak. Semua terjadi pada limbic system (pusat emosi) di hypothalamus,
setelah itu diteruskan ke hypophycis. Baru kemudian diteruskan ke bagian
tubuh lainnya, seperti dihasilkannya hormon-hormon yang memacu denyut jantung,
pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon tersebut contohnya seperti
epinefrin, serotonin, dan testosteron. Pada orang tua, hormon testosteron dan
progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut mengurangi ambang batas
kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah marah. Saat hormon seperti
testosteron dan progesteron sedang dalam kondisi tidak seimbang, emosi seseorang
akan kurang stabil.
Jadi, apa yang harus dilakukan ketika marah?
Semakin seseorang marah, semakin banyak hormon
tersebut yang dikeluarkan. Dan itu sebenarnya merusak tubuh kita sendiri. Kalau
hormon tersebut makin tinggi, detak jantung akan makin cepat. Kalau ternyata
punya penyakit jantung, jantungnya bisa berhenti seketika. Sebenarnya, reaksi
dalam tubuh itu selalu berusaha mencapai titik equilibrium (keseimbangan).
Maka, jika tubuh kekurangan atau berlebihan sesuatu, itu yang tidak baik. Karenanya,
marah yang berlebihanlah yang merusak.
Lalu, kenapa marah sering dikategorikan sesuatu yang destruktif?
Karena marah cenderung melahirkan
perilaku-perilaku yang buruk, seperti hostilitas (pandangan permusuhan),
mencelakai diri sendiri, membunuh diri, melukai orang lain, dan berkata kasar.
Apa yang biasa dokter lakukan ketika marah?
Kalau saya marah, saya lebih baik diam atau mengarahkan
agresivitas pada hal-hal yang positif, seperti amalan-amalan baik dan membaca Al
Quran. Itu malah lebih baik. Kalau tidak salah, ada di hadis yang memeritahkan
kita untuk diam ketika marah. Karena saat diam, lebih sedikit hormon yang
bekerja. Dan saat diam pun kita lebih banyak merenung.
Rahmat
BACA JUGA : Mengendalikan Marah dengan Cara Islami