Selasa, 12 September 2006

Tak Sendiri


“Terima kasih kepada semua teman saya di tim nasional. Tanpa mereka mungkin saya tidak akan berada di sini” demikian kata-kata yang diucapkan oleh Ronaldinho, pesepakbola Brasil, seusai menerima trofi sebagai Pemain Terbaik Dunia FIFA 2005 di Zurich, Swiss, 19 Desember yang lalu. Ungkapan kerendahan hati itu ia ucapkan berdasarkan kesadarannya bahwa prestasi tersebut bisa dicapai karena ‘ketidaksendirian’-nya.

Ketidaksendirian pada diri Ronaldinho ternyata juga terjadi pada beberapa tokoh di Indonesia akhir-akhir ini. Bedanya, yang terjadi di Indonesia bukan pada prestasi tetapi pada hal negatif. Ketidaksendirian itu terjadi pada berbagai kasus kejahatan yang terungkap. Banyak kasus kejahatan, khususnya kolusi dan korupsi, yang akhirnya terbongkar dan diketahui melibatkan banyak orang dan bahkan melibatkan aparat penegak hukum sendiri.

Adalah Komisaris Jenderal Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang saat menangani penyidikan kasus pembobolan Bank BNI Rp. 1,2 Triliun dengan tersangka utama Adrian Woworuntu. Dalam pemeriksaan, Landung mengakui telah menerima mobil Nissan X-Trail dari Adrian Woworuntu. Kasus ini terbongkar karena ada di antara belasan terdakwa lain yang sudah divonis hukuman penjara antara tujuh tahun sampai seumur hidup merasa dirugikan atau dikorbankan.

Pada kasus lain, tertangkapnya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah dalam kasus penyuapan, ternyata juga akhirnya malah membongkar kasus yang lebih besar, yaitu kasus korupsi yang terjadi di tubuh KPU. Tak urung lagi, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsudin dan Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin pun akhirnya digiring ke meja hijau dalam kasus korupsi tersebut. Mereka dianggap telah menyelewengkan dana KPU dan mengakibatkan kerugian bagi negara.

Terakhir, kasus yang masih menyisakan pertanyaan, yaitu kasus pembunuhan Munir di dalam Pesawat Garuda. Pollycarpus Budihari Prayitno, tersangka pembunuhnya, menyatakan banding atas vonis 14 tahun penjara yang dibacakan pada 20 Desember lalu. Pada pembacaan putusan tersebut, majelis hakim mengungkapkan, “Masih harus diselidiki lagi siapa dan siapa saja yang turut serta berperan dalam peristiwa hilangnya jiwa korban Munir.” Sebelumnya, penyidikan tim pencari fakta yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah menemukan indikasi adanya keterlibatan pejabat Badan Intelejen Negara (BIN).

Tugas untuk memerangi kejahatan, terutama korupsi dan kolusi, memang merupakan sesuatu yang penuh tantangan. Selain karena memang sudah cukup kronis, ternyata hal itu juga terjadi justru di kalangan penegak hukum itu sendiri. Untuk mengatasinya, tentunya kita harus berkomitmen dan bergandeng tangan di antara segenap komponen bangsa yang ada. Allah swt. Berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (Q.S. An-Nisa 4:71)

Jumat, 10 Maret 2006

Islam dan Antisipasi Tindak Perkosaan




Oleh: Iin Rosliah*

Belakangan ini kasus perkosaan di Jawa Barat meningkat dan sangat memprihatinkan. Terutama karena tindakan amoral itu banyak menimpa gadis di bawah umur, dan rata-rata dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Ada balita diperkosa tetangga, anak diperkosa bapak, adik dicabuli kakak, kakak digagahi adik, keponakan melecehkan bibi, guru sekolah menodai anak didik, bahkan guru ngaji mencabuli santrinya.

Selama bulan November 2005 saja, ada sembilan kasus perkosaan yang terungkap, dan yang paling dianggap brutal adalah kasus perkosaan tiga puluh lima (35) pemuda terhadap gadis sembilan belas (19) tahun yang terjadi di Sukabumi. Namun yang sangat memprihatinkan, delapan pelaku di antarnya ternyata masih di bawah umur. (Kasus Perkosaan di Jawa Barat Membuat Miris, Pikiran Rakyat, 21/11/2005).

Banyak faktor yang memicu maraknya tindakan perkosaan. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, stres karena kesulitan hidup dan tekanan ekonomi, diduga menjadi faktor pendukung lahirnya tindakan bejat tersebut. Faktor pemicu ini makin lengkap dengan minimnya keimanan yang dimiliki seseorang. Ketika iman lemah, akan mudah baginya melakukan tindakan di luar aturan agama.

Belum lagi batas pergaulan laki-laki dan perempuan yang kini semakin longgar, ditambah stimulus yang dimunculkan oleh korban. Pakaian minimalis yang dikenakannya, mau tidak mau memunculkan gairah pelaku sehingga tak bisa menahan diri.

Maraknya VCD porno dan banyaknya tayangan TV yang tidak mendidik juga menjadi faktor pemicu yang tak dapat dipandang remeh. Bahkan menurut Herlina Agustin, S.Sos. M.T, Sekretaris Jurusan Jurnalistik Fikom, Unpad, faktor tertinggi rangsangan seksual yang muncul dalam kasus kejahatan seksual, justur setelah usai menonton VCD porno atau tayangan berita kejahatan seksual yang dibumbui visualisasi rekonstruksi atau ilustrasi. (Herlina, Cegah Anak Menonton Tayangan Vulgar, Pikiran Rakyat, 21/11/2005)

Ironis memang, negara yang mayoritas penduduknya muslim belum memiliki UU pornografi. Padahal, seperti dikatakan ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat, Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, di Negara yang dianggap sekuler seperti Australia, sudah memiliki UU yang melarang pornografi ditayangkan. Sehingga dari pagi sampai sore, acara-acara TV di Australia sebatas berita dan pendidikan anak. (Sahkan UU Antipornografi, Pikiran Rakyat, 21/11/2005).

Perlu ada upaya untuk menemukan solusi dari kasus ini. Namun, meningkatkan kualitas keimanan dan pendidikan agama masyarakat merupakan salah satu solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan pendidikan agama, paling tidak kasus perkosaan bisa diminimalisir. Mengapa demikian? Karena agama, dalam hal ini Islam, memiliki sejumlah aturan antisipatif yang mempersempit peluang munculnya kasus tersebut.

Merujuk pada Al Quran dan sunah Rasulullah saw., ada beberapa tindakan antisipatif yang ditawarkan Islam.

Pertama, meminta izin saat memasuki kamar orang tua

Ada tiga waktu yang mengharuskan anak kecil yang belum balig meminta izin sebelum memasuki kamar orang tuanya. Sebelum Shalat Subuh, tengah hari, dan sesudah Shalat Isya. Adapun bagi anak yang sudah balig, wajib minta izin pada semua waktu, di samping ketiga waktu tersebut. Ketentuan ini tercantantum dalam surat An-Nur ayat 58-59, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum Shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah Shalat Isya. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Peraturan ini juga berlaku kebalikannya. Ketika memasuki kamar anak, hendaknya orang tua meminta izin terlebih dahulu. Ini dimaksudkan agar anak dan orang tua menghormati hak privasi masing-masing. Di samping juga sama-sama menjaga pandangan dari kondisi yang tidak diharapkan. Dikhawatirkan, jika tanpa izin sebelumnya, penghuni kamar sedang tidak terjaga auratnya. Sehingga keadaan ini dijadikan momen oleh setan untuk menjerumuskan anak atau bapak pada tindak perkosaan.

Kedua, memisahkan tempat tidur anak dan melarang tidur sambil tengkurap

Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka…” (H.R. Abu Daud)

Ya’isy bin Thakhfah Al Ghifari dari ayahnya r.a. berkata, “Ketika saya tidur tengkurap di masjid, tiba-tiba ada seorang laki-laki menggerak-gerakkanku dengan kakinya. Dia berkata, ‘Sesungguhnya tidur tengkurap ini dibenci Allah.’ Ya’isy berkata, ‘Maka aku melihat orang itu, ternyata dia adalah Rasulullah saw.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Tidur dalam keadaan tengkurap ini dicela karena bisa membangkitkan birahi seseorang.

Ketiga, menjaga pandangan

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki juga perempuan. Allah swt. telah berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tahu apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat hendaklah mereka menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya…” (Q.S. An-Nur: 30-31).

Jabir bin Abdillah pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang pandangan tiba-tiba, maka beliau menyuruhnya untuk memalingkan pandangan matanya. Ini diriwayatkan dalam hadis Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi.

Mengapa kira harus menundukkan pandangan? Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pandangan itu adalah anak panah beracun dari anak-anak panah iblis, siapa yang menghindarkannya karena takut kepadaku (Allah), Aku akan mengaruniakan kepadanya keimanan yang terasa manis di dalah hatinya.” (H.R. Thabrani).

Seorang penyair mengatakan bahwa segala sesuatu itu bersumber dari pandangan. Siksa neraka yang terbesar berasal dari kemaksiatan yang kecil. Mula-mula memandang, kemudian senyuman dan salam, sesudah itu bicara, akhirnya ada janji dan kencan.

Menjaga pandangan bukan hanya saat berpapasan dengan lawan jenis dalam dunia riil, tapi juga yang muncul dalam CD-CD atau tayangan TV yang kerap kali tampil lebih berani dengan pakaian serba terbatas, gerakan erotis, sehingga dapat membangkitkan nafsu birahi.

Keempat, wanita wajib menutup aurat bahkan di hadapan seorang buta sekalipun

Perintah ini tercantum dalam surat An-Nur ayat 31 juga surat Al Ahzab ayat 59. “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Ahzab: 59)

Ummu Salamah menceritakan bahwa ketika ia sedang berada bersama Rasulullah saw. dan Maimunah, datang Ibnu Ummi Maktum menemui Rasulullah saw. Ketika itu kami sudah diperintah untuk berhijab. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Berhijablah kalian darinya.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta?” Rasullah saw. menjawab, “Apakah kalian juga buta? Bukankah kalian bisa melihatnya?” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).

Dari Aisyah ra., “Sesungguhnya Asma binti Abi Bakar masuk ke rumah Rasulullah saw. dengan menggunakan baju transparan. Maka Rasulullah saw. berpaling sambil bersabda, ‘Ya Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah haid, tidak boleh terlihat dari tubunya kecuali ini (sambil menunjuk wajah dan dua telapak tangannya).” (H.R. Abu Daud)

Kelima, tidak boleh bersentuhan dan berduaan dengan wanita bukan mahram

Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Tangan Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam baiat. Baiat Rasulullah saw. dengan mereka adalah berupa ucapan.” (H.R. Bukhari).

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya. Karena pihak ketiganya adalah setan.” (H.R. Ahmad).

Demikian di antara rambu-rambu yang diatur oleh Al Quran dan sunah Rasulullah saw. Barangsiapa yang menaatinya, insya Allah akan terjaga dari perilaku maksiat. Sesuai dengan janji Rasulullah saw. dalam hadisnya, “Telah kutinggalkan dua perkara untuk kalian. Kalian tidak akan pernah tersesat selam berpegang teguh pada keduanya. Kitabullah dan sunah Nabi-Nya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar).

Di samping para tokoh agama, keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama, memiliki peran yang besar dalam menanamkan nilai-nilai ini kepada setiap anggotanya. Agar tidak menjadi korban, apalagi pelaku perkosaan. Naudzubillah.

* Penulis adalah alumnus Takmili LIPIA, Jakarta


Selasa, 28 Februari 2006

Islam Memang Moderat



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا (البخاري)

Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu melainkan pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan sikapilah dengan gembira (lapang dada).” (H.R. Bukhari)

Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitabul-Mardha bab "Tamannil-maridhi almauta" (orang sakit mengangankan mati) dan dalam Kitabur-Riqaq bab "Al-qashdu wal-mudawah 'alal-'amal" (bersikap tengah dan kontinyu dalam beramal).

Penjelasan Rasulullah saw. di atas menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam adalah moderat dan jauh dari ekstremitas. Al Quran dan Sunnah telah menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia mencapai kebaikan, kebahagiaan, dan kejayaan dunia serta akhirat. Tidak ada sesuatu pun yang membuat manusia bahagia melainkan pasti dijelaskan oleh Islam. Dan tidak ada pula sesuatu yang membuat manusia celaka melainkan pasti diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam menjelaskan hukum-hukum itu, ada nash-nash yang amat rinci di antaranya penjelasan mengenai praktik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah seperti itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain yang diterangkan secara rinci misalnya pembagian harta waris. Siapa yang berhak memperolah harta waris dan berapa bagian untuk masing-masing orang yang berhak itu.

Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu, yakni para ulama dengan kualifikasi dan persyaratan tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini banyak berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan sebagainya. Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan oleh Islam.

Semuanya tercantum lengkap dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Dan itulah parameter dan acuan kita ber-Islam. Tanpa parameter itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena seseorang tidak suka dengan cara temannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam –yang belum tentu salah— dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang yang selalu mengambil pilihan yang sulit dan ‘keras’ akan menuduh orang yang berbeda dengan dirinya sebagai orang yang tidak komit, lembek, dan penakut. Jadi, tidak ada Islam ekstrem, yang ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw.,

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
 هَلَكَ اْلُمتَنَطِّعُوْنَ, قَالَهَا ثَلاَثًا. (رواه مسلم) 

Dari Abi Mas'ud r.a., Nabi saw. bersabda, Binasalah mutanath-thi’un.” Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (H.R. Muslim)

Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata ‘mutanath-thi’un’ yang ada dalam hadis itu, “Mutanath-thi’un adalah orang-orang yang mendalam-dalami (secara memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang tidak seharusnya keras.”

Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan Islam? Banyak sebab, antara lain:

Pertama, Ilmu Kurang Memadai
Membela dan menegakkan Islam memerlukan kecukupan ilmu. Semangat saja belumlah cukup. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak menguasai sendi-sendi hukum dalam Islam dapat pula memunculkan ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi –semoga Allah menjaganya- menggunakan istilah "dha’ful-bashirati bihaqiqatid-din" (lemahnya pemahaman tentang hakikat agama) untuk menggambarkan hal itu.

Lebih jelasnya beliau menyebutkan, “Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan mutlak tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan sikap ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya pegangan dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama.” (Lihat Ash-Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)

Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku mudah mengafirkan orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib dimiliki oleh para da’i. Ini ditegaskan dalam Al Quran,

قُلْ هذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْ إَلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Q.S. Yusuf 12:108)

Kedua, Memahami Syari’at Islam secara Parsial
Islam diturunkan oleh Allah sebagai din syamil (agama yang komprehensif). Oleh karena itu ia harus dipahami secara syamil pula. Pemahaman parsial tentang Islam (syari’at Islam) mempunyai peran besar dalam memunculkan perilaku ekstrem. Syari’at Islam merupakan bangunan utuh yang satu komponen dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya adalah aqidah dan keimanan. Lantai pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta’abbudi) adalah lantai kedua. Lantai ketiganya adalah muamalat dengan segala cabangnya. Dan bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian itu.

Sesungguhnya syari’at Islam bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan, hukum rajam, atau hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata Islam, menegakkan syari’at Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait dengan hal ini, Dr. ‘Ali Juraisyah menegaskan:

“Bukan hanya dengan hudud syari'at Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah. Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syari’at. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”

Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa “mendirikan” negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah lebih penting dari membina aqidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena kesemuanya itu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari integritas Islam.

Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada bagian yang oleh para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.

Dari situ jelas bahwa aqidah bukan saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia merupakan bagian dari pembahasan iman kepada Allah. Iman kepada Allah adalah rukun pertama dari rukun iman. Selain mempunyai rukun, iman juga mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat “hanyalah” satu dari rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian asasi dari Islam dan bukanlah keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada zikir, ada ukhuwwah, ada khusyu, ada tawadhu’, ada jihad, dan seterusnya.


Ketiga, Tergesa-gesa
Untuk mencapai tujuan selalu ada proses. Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik tujuan itu terkait dengan dunia maupun terkait dengan akhirat. “Apabila untuk mencapainya mengambil jalan pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil berkeyakinan bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan mengantarkan kepada tujuan, ini jelas kesalahan besar. Dari sinilah berangkatnya sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah,” kata Dr. Muhammad Zuhaili.

“Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa nafsunya dan merasa bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya juga diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah jalan yang salah atau kurang,” imbuh Muhammad Zuhaili. (Al-I’tidal Fit-tadayyun hal. 11-12)
           
Sikap isti’jal kerap muncul dan seringkali tampil sebagai ekstremitas. Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi ketika cita-cita menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan kesabaran untuk menempuh perjalanan yang pernah ditempuh Rasulullah saw. Dr. Sayyid Muhammd Nuh menggambarkan sikap isti’jal itu, “Ia ingin mengubah kondisi atau realitas kehidupan kaum Muslimin dalam waktu sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub dan wasilahnya.” (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)

Akibat ketiga hal itu, muncullah sikap-sikap ekstrem, tidak seimbang, dan sikap memberat-beratkan sesuatu yang sesungguhnya ringan. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat ayat:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al Baqarah 2: 185)

Islam diturunkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasulullah saw. dalam keadaan mudah, adil, seimbang, dan wasath (moderat). Jadi, yang paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh ajaran Islam. Dan ekstremitas sering ditampilkan justru oleh orang-orang yang  meninggalkan Islam atau menyimpang dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam.