Abadi Bersama Cahaya
Keabadian terus melekat pada mereka yang memberi andil besar bagi sejarah
dan kehidupan umat manusia, baik karena keburukan maupun kebaikannya. Pada abad
ke-19 dan ke-20, dunia dihiasi kaum intelektual yang berhasil mengabadikan karya-karyanya,
baik dalam bidang sosial maupun teknologi.
Salah satu di antara mereka adalah Thomas Alva Edison. Berkat temuannya,
kini rumah kita benderang dihiasi bola lampu pijar seukuran telapak tangan.
Bukan hal yang mudah dan singkat hingga Edison mampu meraih kesuksesan. Ia
mesti belajar dan melakukan banyak sekali percobaan.
Edison lahir 11 Pebruari 1847, di Ohio, Milan, dari pasangan Samuel Ogden
Edison, Jr. dan Nancy Matthews Elliott. Ia adalah anak bontot dari 7
bersaudara. Dibanding kakak-kakaknya, Edison kecil mengalami kesulitan
kemampuan bicara. Namun saat ia mampu bicara, tepatnya pada umur empat tahun, sifat
kritisnya mulai tampak. Apa pun yang ia lihat selalu ia tanyakan. Saat tak ada
yang mampu menjawabnya, ia selalu berkata, “Mengapa?”
Sikap kritis Edison pulalah yang membuat sang ibu mengeluarkannya dari
sekolah. Gurunya menganggap Edison sebagai anak aneh dan ia sering dibuat
jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang tak lazim ditanyakan
anak seusianya. Beruntung, sang ibu yang juga seorang guru, mampu mengajari
Edison di rumah. Ia membimbing Edison kecil dengan membiarkan hari-hari Edison
larut dalam tumpukan buku di perpustakaan-perpustakaan di kotanya.
Selain itu, sang ayah membiarkan Edison tumbuh menjadi remaja yang mandiri.
Di usia 12 tahun, ia mulai mencoba
berjualan dengan menjajakan permen dan koran di kereta. Itu sebabnya anak muda
yang akrab dipanggil Al ini lebih cepat tumbuh dewasa ketimbang remaja seusianya.
Di usia ini pula ia mulai kehilangan sedikit pendengarannya.
Karena kebaikan hatinya menyelamatkan nyawa seorang anak seorang pekerja di
stasiun pengiriman telegraf, di umur 15 tahun ia diangkat sebagai pegawai
pengirim telegraf. Pendengarannya yang sedikit terganggu membuatnya bisa tetap
konsentrasi mendengarkan suara morse walau di tempat bising sekalipun. Di
tempat inilah ia menghasilkan penemuan pertamanya. Penemuan ini berupa Automatic
Repeater (pengulang otomatis) yang membuat pengiriman telegraf menjadi
lebih efisien. Sayangnya, temuannya ini tidak pernah ia patenkan.
Sang penemu bohlam ini pun sempat mengalami kekecewaan karena didahului Alexander
Graham Bell untuk penemuan telepon. Namun, kekecewaannya itu ia gunakan sebagai
bahan bakar untuk menghasilkan puluhan penemuan lainnya yang berguna bagi
masyarakat luas. Ia mengumpulkan teman-temannya dan mulai mendirikan
laboratorium penelitian sendiri. Dalam sejarah, inilah laboratorium pertama
yang dikhususkan untuk mengembangkan penelitian berbau teknologi dan
penemuan-penemuan baru. Bersama peneliti-peneliti di dalamnya, laboratorium
Edison yang bertempat di Menlo Park, New Jersey, menjelma menjadi laboratorium
sekaligus tempat bisnis yang sukses.
Keberhasilan Edison terutama karena temuannya akrab dengan kebutuhan
masyarakat, ditambah otak bisnisnya yang encer. Ia selalu memproduksi hasil
temuannya dalam jumlah besar dan menjualnya pada masyarakat setelah mendapat
hak paten. Puncaknya saat ia menemukan bola lampu pijar. Saat itu pula ia mulai
menjual bola ajaib yang bersinar itu pada masyarakat sekaligus mengalirkan
listrik ke rumah-rumah.
Di hari tuanya, saat ia kembali ke Milan, ia dikejutkan dengan kondisi di mana
ternyata rumahnya sendiri masih menggunakan lilin dan lampu minyak. Ia menghabiskan masa tuanya dengan berdiet
dan hanya meminum 0,56 lt susu tiga kali sehari. Sebulan sebelum meninggal, ia
berhasil menemukan sistem kereta listrik yang dipakai New Jersey. Tepat pada 18
Oktober 1931, Bapak Bohlam ini dipanggil menghadap Yang Kuasa di usai 84 tahun.
Penemu dan pebisnis sukses ini wafat dengan banyak menghasilkan temuan dan
penghargaan. Saking berpengaruhnya, di New Jersey dibangun patung dan museum
untuk mengenangnya. Bisnisnya kemudian diteruskan oleh anaknya, Charles Edison
dan terus menghasilkan terobosan-terobosan baru di bidang teknologi.
Rahmat