Sabtu, 21 November 2015

Berpikirlah Sebelum Marah


 Seorang ibu mendapati anaknya sedang asyik bermain di tanah yang basah bersama teman-temannya. Mendadak, sang ibu menjadi gusar dan mendatangi anaknya. Emosinya memuncak dan berubah menjadi kemarahan saat dilihat baju anaknya sangat kotor terkena tanah basah. Tanpa pikir panjang, dengan diiringi bentakan, sang ibu menyeret anaknya masuk ke dalam rumah. Dari tertawa senang karena bermain, wajah sang anak berubah menangis sejadi-jadinya.

Pernahkah kita menemui situasi seperti itu, atau mungkin mengalaminya sendiri? Apa yang kita rasakan saat menjadi sang anak dan apa yang kita rasakan bila berada di posisi sang ibu? Anak dalam posisi tersebut bisa kita sebut sebagai korban kemarahan ibunya sementara sang ibu kita sebut saja sebagai pelaku kemarahan yang terpicu oleh kondisi anaknya yang bermain tanah. Kasus seperti itu adalah salah satu contoh kasus kemarahan yang dipicu oleh sesuatu di lingkungan. Lalu, sebenarnya apa itu marah dan kenapa kita mesti marah? Jika kita kembali membaca kasus di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kemarahan itu cenderung destruktif. Benarkah demikian?

Hakikat Marah 

Dalam kajian ilmu komunikasi, marah hakikatnya adalah salah satu bentuk dari komunikasi seseorang. Kala seseorang marah, artinya dia sedang berupaya menyampaikan pesan kepada orang lain. Bentuk penyampaiannya berbeda-beda, bergantung pada lingkungan dan kondisi sosial budaya yang membentuknya. Di Jepang, orang sering diam saat marah karena memang orang-orang Jepang tidak terbiasa mengekspresikan perasaannya. Hal itu akan berbeda jauh dengan orang Amerika yang lebih berterus terang mengungkapkan perasaannya, sama halnya dengan Suku Batak di tanah air kita.

Menurut kacamata psikologi, marah adalah bagian dari emosi. Di antara sekian banyak emosi, seperti gembira dan sedih, marah dikategorikan sebagai emosi yang negatif. Sebagaimana yang diungkapkan psikolog Alva Handayani, penyebab marah berbeda-beda pada tiap orang, tapi umumnya terjadi karena frustasi, tersinggung, atau memang karena temperamen.

Ada pula kemarahan yang terjadi karena kasus atau pengalaman seseorang di masa lalu. Kasus ini disebut kasus predisposisi. Pada kasus ini, kemarahan disebabkan oleh pengalaman buruk masa lalu yang menumpuk hingga pada akhirnya meledak ketika ada pemicunya. Kita sering menyaksikan contohnya di layar kaca, misalnya ketika seorang istri yang dikenal orang lain sebagai seorang wanita sabar, ternyata mampu menghabisi nyawa suaminya dengan cara yang sadis.

Emosi seseorang selama ini dinilai dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Faktor lingkungan memang berpengaruh sebagai musabab sekaligus pemicu kemarahan seseorang, tetapi sebenarnya faktor lingkungan amat bergantung pada faktor internal, yaitu kestabilan emosi. Dalam lingkungan yang sama, dua orang berbeda bisa bereaksi berbeda dalam menghadapi masalah yang sama, bergantung pada kendali diri yang dimiliki. Orang yang ritme hidup dan denyut jantungnya lebih cepat, ketika dihadapkan pada situasi lebih lambat, dia akan stres dan mudah marah. Begitu pun sebaliknya, orang yang emosinya tenang dan lambat jika dia masuk ke situasi yang lebih cepat, dia akan cepat marah dan stres.

Sementara dari kajian ilmu jiwa atau psikiatri, marah justru lebih dikenal sebagai bentuk gejala atau symptom. Kemarahan menandakan adanya suatu penyakit dalam tubuh seseorang. Dan memang dalam kajian psikiatri, seseorang yang sakit akan mudah marah karena penyakit yang dideritanya. Marah digolongkan ke dalam jenis gejala agresi yang positif karena merupakan ekspresi emosi yang ditampakkan. Penyebabnya disebut dengan istilah impuls atau dorongan. Jenis impuls ini bisa bermacam-macam, mulai dari kondisi lingkungan yang tidak kondusif dan penuh tekanan, makanan yang berprotein tinggi, rendahnya kadar oksigen pada otak, dan kasus hormonal.

Sama seperti dalam kajian psikologi, faktor lingkungan didaulat sebagai salah satu penyebab timbulnya kemarahan pada diri seseorang. Seseorang yang berprofesi sebagai pengemudi angkutan kota akan lebih mudah marah ketimbang seseorang yang bekerja di ruangan ber-AC. Tuntutan lingkungan yang penuh tekanan, bising, dan panas akan memacu emosi seseorang berada dalam kondisi tinggi. Begitu pun makanan yang berprotein tinggi. Menurut dr. Jaya Mualimin, makanan yang berprotein tinggi, seperti daging kambing, cenderung memicu seseorang untuk marah karena meningkatkan hormon-hormon tertentu dalam tubuh. Begitu pula dengan kurangnya oksigen pada otak yang membuat kesadaran seseorang menjadi turun dan rentan terhadap stimulus yang negatif.

Untuk kasus hormonal, seseorang menjadi mudah marah jika kadar hormon pemicu kemarahan tidak berada pada kadar semestinya. Singkatnya, proses kemarahan dalam tubuh bisa dijabarkan dengan dimulainya impuls yang diterima oleh limbic system (pusat emosi) di hypothalamus yang terletak di bagian otak tengah. Penerimaan impuls tersebut merangsang peningkatan neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Setelah itu, rangsangan diteruskan ke hypophycis yang kemudian dikirim ke bagian tubuh lainnya, seperti bagian tubuh penghasil hormon-hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon tersebut contohnya seperti epinefrin, noreprinefrin, serotonin, dan testosteron.

Itulah sebabnya gangguan hormonal, yaitu ketidakseimbangan kadar hormon –baik kelebihan maupun kekurangan– akan menyebabkan seseorang mudah marah. Kasus ini terjadi pada kaum wanita saat sedang menstruasi ataupun pada kaum lansia yang hormon testosteron dan progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah marah.

Jauh hari, Rasulullah saw. telah bersabda, "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan terbuat dari api.” (H.R Ibnu Asakir, Mauquf). Imam Ja’far ash-Shadiq pun berkata, “Sesungguhnya marah itu adalah bara api dari setan yang dinyalakan dalam hati keturunan Adam dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu apabila marah maka merahlah matanya dan berdetak cepat jantungnya, lalu masuklah setan (menguasai) ke dalam (diri)nya.”

Dari dua kabar tersebut, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa kemarahan pada diri seseorang identik dengan perbuatan dan sifat setan. Marah pun sering dikaitkan dengan sifat api yang panas, sementara api itu sendiri adalah bahan bakar penciptaan setan. Jelaslah kiranya jika Rasulullah dan para pemikir Islam banyak yang mengidentikkan kemarahan berasal dari setan.

Allah pun mengeluarkan setan dari surga semata-mata karena marah dan sombongnya pada Adam. Jika kini kemudian manusia dihinggapi rasa marah, bisa jadi itu adalah warisan dari setan yang memang gemar mengganggu manusia, salah satunya dengan mempermainkan emosinya sehingga jatuh pada perbuatan dosa.

Permainan emosi manusia yang dilakukan oleh setan pada akhirnya bermuara pada timbulnya kemarahan. Itu sebabnya, dari dua kajian keilmuan psikologi dan psikiatri, ada kesimpulan bahwa sesungguhnya kemarahan pada diri seseorang itu bergantung pada kestabilan emosi yang dimiliki orang tersebut. Makin stabil dan mampu seseorang mengelola emosinya, makin jauh ia dari marah yang berasal dari setan.

Apakah Kita Mesti Marah? 
   
Dilihat dari berbagai pandangan di atas, marah selalu identik dengan sesuatu yang negatif. Mulai dari dikaitkan dengan setan, tidak stabilnya emosi, hingga pertanda adanya penyakit dalam tubuh. Jika demikian, tampaknya bagus bagi kita untuk tidak memiliki rasa dan sifat marah. Tapi, kesimpulan tersebut bukanlah kesimpulan yang benar, sebab bagaimanapun, marah adalah fitrah yang Allah berikan pada manusia sebagai makhluk yang dibebani amanah untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Dengan marah pula, Allah menjadikan kita berbeda dengan malaikat, binatang, dan makhluk Allah lainnya, bahkan dengan setan. Itu karena manusia memiliki naluri dan rasio untuk mengelola kemarahannya.
   
Ketika menciptakan malaikat, Allah menjamin tidak akan ada sifat pembantahan. Itu yang menyebabkan malaikat selalu patuh pada Allah. Kita tidak akan bisa menemukan kemarahan pada malaikat, sebab malaikat memang diciptakan hanya untuk mematuhi perintah Allah. Firman Allah, ”Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud.” (Q.S. Al A’raaf 7: 206).
   
Sementara pada setan, Allah hanya membekalinya dengan sifat buruk, termasuk marah. Jadi, wajar jika setan tidak akan bisa masuk surga, sebab dari kemarahannya pada Adam dahulu justru telah mengusirnya dari surga dan ditakdirkan untuk menghuni neraka selamanya. Lain halnya dengan manusia yang dilengkapi kesempurnaan akal dan emosi yang bisa mengangkatnya pada derajat yang lebih tinggi, atau sebaliknya justru menjatuhkannya.
   
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan marah. Hanya saja, seringkali emosi saat marah diekspresikan dengan berlebihan dan tidak semestinya. Marah yang hanya disebabkan oleh permasalahan sepele, bisa berbuntut besar, sampai-sampai terjadi pembunuhan. Akibatnya, marah yang tidak terkontrol dan berlebihan akan merusak, baik pada diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya.
   
Marah akan cenderung menjadi destruktif ketika seseorang menuruti emosinya yang meledak-ledak. Kemarahan tidak akan menghasilkan manfaat jika hanya dilampaskan melalui kata-kata, ekspresi, dan perlakuan yang kasar. Itulah sebabnya, walaupun dalam keadaan marah, kita harus selalu mengedepankan rasio. Sebab dengan begitu, kemarahan kita menjadi kemarahan yang tidak sia-sia.
   
Psikolog E. Kristi Poerwandari menyatakan bahwa setidaknya ada dua poin yang membuat marah menjadi konstruktif. Pertama, marah haruslah karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subjektif. Banyak kasus kemarahan timbul di lingkungan keluarga, misalnya suami marah secara berlebihan karena merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal ini hanyalah pandangan subjektif sang suami. Kedua, marah haruslah terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kita ambil contoh dengan kisah ibu yang marah pada anaknya karena kedapatan main tanah yang kotor. Jika sang ibu menuruti emosinya dengan memarahi sang anak, bahkan hingga menariknya ke dalam rumah dan melarangnya bermain dengan teman-temannya, yang terjadi adalah si anak akan merasa sang ibu terlalu mengekang dirinya. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti ia akan berbalik menentang sang ibu.

Kisah akan berbeda jika saat sang ibu melihat anaknya bermain tanah, tidak ujug-ujug marah. Tapi, redam dulu emosinya dan panggil baik-baik sang anak lalu beri nasihat dan pengertian. Niscaya sang anak tidak akan menangis. Ini yang disebut marah yang konstruktif, yaitu marah yang dikelola agar ekspresi yang keluar tidak berlebih. Allah berfirman, ”Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 37).

Rahmat