Kamis, 10 September 2015

Festival Kultural Terbesar

Di antara sekian banyak hikmah pelaksanaan ibadah haji, terdapat dua hikmah penting yang sering dilupakan oleh umat Islam. Demikian kesimpulan wawancara MaPI bersama Ir. H. Bambang Pranggono MBA. IAI., pembimbing Ibadah Haji dan Umroh yang juga penulis buku Percikan Sains Dalam Al Quran. Berikut ini dua hikmah yang dimaksud.

Pertama, haji melatih kita untuk membebaskan diri dari rutinitas dan rasionalitas yang berlebihan. Dalam tulisan Ali Syariati disebutkan bahwa haji adalah suatu perjalanan spiritual untuk membebaskan diri dari rutinitas material sehari-hari. Hidup kita sekarang ini sudah sangat mekanistik; bangun pagi, mencari uang, makan, belajar, tidur, dan sebagainya. Lalu menikah, punya anak, dan seterusnya hingga akhirnya meninggal. Begitulah lingkaran itu berputar terus. Dalam hal ibadah, shalat juga demikian, rutin dan berputar. Zakat dan puasa juga dilakukan secara periodik. Sedangkan ibadah haji sangat berbeda dari itu semua.

Ketika melaksanakan ibadah haji, kita meninggalkan semua rutinitas dan siklus yang teratur itu dengan biaya mahal, meninggalkan peluang bisnis dan karir yang belum tentu kita dapatkan lagi. Kita tinggalkan keluarga, kampung halaman, dan segala kemapanan menuju daerah asing dengan budaya, bahasa dan makanan yang berbeda. Tanahnya pun kering dan tidak seindah alam Itali, Spanyol, Prancis, atau negara lainnya. Kita juga tidak mencari untung di sana, malahan mengeluarkan banyak uang. Juga tidak mengharapkan pelayanan yang baik dari orang-orang di sana karena kita tahu bahwa adat manusia di sana lebih kasar dibanding orang Indonesia. Jadi, apa yang sebenarnya dicari? Semua itu kita lakukan benar-benar hanya menuju Allah, perjalanan karena Allah. Paling tidak, sekali seumur hidup kita tidak memberhalakan otak kita. Tidak ada kausalitas, tidak perlu ada alasan-alasan atau sebab akibat. Karena Allah menyuruh kita melakukannya, ya sudah, kita berangkat ke sana.

Apa yang dilakukan di sana juga tidak rasional. Untuk apa kita mengelilingi batu sampai tujuh kali. Kalaupun ada penjelasan hikmah berkaitan dengan pusaran energi dan sebagainya, itu hanya rasio kita yang menghubung-hubungkan. Tapi pada hakikatnya kita melakukan hal yang tidak logis. Itulah sebuah napak tilas dari apa yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kita melaksanakan napak tilas mengunjungi tempat-tempat yang pernah ada perintah-perintah yang tidak rasional juga di sana. Pertama, Nabi Ibrahim diperintahkan meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang kering. Itu sangat tidak rasional apabila menggunakan akal logika. Tapi Ibrahim dan Siti Hajar lulus dengan ujian dan perintah itu. Siti Hajar bertanya, apakah ini perintah Allah? Kalau ini perintah Allah, aku terima karena aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan aku. Berikutnya, Nabi Ibrahim pun diperintahkan melakukan sesuatu yang juga irrasional, yaitu menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu datang melalui mimpi tiga malam berturut-turut. Iblis mengganggu dengan alasan mana mungkin Allah menyuruh hal yang tidak masuk akal itu. Tapi Ibrahim dan Ismail lulus dalam ujian ini, lebih memilih sesuatu yang irrasional yang datang dari Allah daripada iblis yang rasional tadi.

Jadi, memang ada saat tertentu di mana kita harus melepaskan logika dan mengenakan ketaatan dan kepasrahan. Dalam ibadah haji kita dilatih untuk mengimbangi pemberhalaan kita selama ini kepada rasio. Kalau kita sudah bisa irrasional sewaktu-waktu dan kemudian rasional lagi, maka kita akan menjadi manusia yang lebih lengkap dan bisa menikmati keindahan di mana pun. Tidak hanya lukisan yang naturalis yang bisa kita kagumi, tapi yang surealis dan abstrak pun bisa kita nikmati. Tidak hanya musik yang lembut dan melantun yang bisa dinikmati tetapi sewaktu-waktu juga bisa menikmati musik yang keras dan mengentak.

Kedua, perintah haji diserukan pada abad di mana komunikasi saat itu sangat susah; di padang pasir yang terik dan kering. Perjalanan ke sana sangat berat dan tidak menarik. Tetapi ternyata itu diperintahkan oleh Allah, pasti ada sesuatu yang lain yang diinginkan oleh Allah dari perintah itu. Salah satunya adalah internasionalisasi. Dengan perintah haji ini orang Islam diharapkan menjadi kosmopolitan, universal, dan mengglobal. Di sana kita dipertemukan dengan etnis, suku, dan budaya yang berbeda; lita’arofuu, untuk saling kenal-mengenal. Dengan adanya empat tempat yang harus dikunjungi dalam prosesi haji yaitu Mekah, Muzdalifah, Mina, dan Arofah, hal ini tentunya sudah merupakan suatu isyarat. Artinya, di sana akan terjadi perubahan konstelasi. Jamaah haji yang berkumpul di satu tempat akan bergeser ke tempat lain dan akan bertemu orang lain, demikian seterusnya.

Ketika kita di depan Ka’bah melakukan shalat atau berdoa, kita tentu berkomunikasi dengan Allah, tapi di sela-sela semua ritual itu kita harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Ngobrol, tukar pikiran, tukar ideologi. Di sana harus terjadi proliverasi atau pemerataan informasi. Dengan melakukan hal itu, setiap diri kita tentu akan menjadi lebih lapang dada menghadapi perbedaan, terjadi pencairan kekakuan dan kebanggaan diri. Jadi, sebenarnya adalah sesuatu yang kurang tepat adanya usaha pengelompokkan negara pada penginapan yang sektarian. Kalau orang Makassar mengelompok dengan orang Makassar, orang Sunda mengelompok dengan orang Sunda dengan alasan supaya selera makanan dan bahasanya sama, maka sebenarnya kita kehilangan aspek internasionalisasi.

Kita harusnya mencoba makanan orang lain, tahu budaya orang lain. Seharusnya Mekah itu menjadi sebuah festival kultural terbesar di dunia, kultur yang didasari tauhid. Kalau di pemondokan kita bercampur, maka ukhuwah islamiyah internasional akan cepat sekali terjadi. Dua atau tiga juta jemaah haji tiap tahun akan pulang dengan wawasan yang baru. Maka orang Islamlah yang akan lebih dahulu berpikir secara internasional dan global. Mungkin di pemondokan kita bisa bicara bisnis, pendidikan, dan hal-hal lainnya.  (Agung)


Selasa, 01 September 2015

Berhaji ke Meksiko?

“What if Russians were to invent a religion in which we were told that we had to pray toward Moskow five times a day? Why can’t the Japanese invent a religion in which everyone has to pray toward Tokyo? Why can’t Mexicans say that you must take a pilgrimage to Mexico City once in your lifetime or you will not be saved?”
Bagaimana jika orang Rusia menemukan sebuah agama yang mengharuskan umatnya beribadah menghadap kota Moskow lima kali sehari? Mengapa tidak orang Jepang menemukan sebuah agama yang mewajibkan setiap orang berdoa menghadap Tokyo? Mengapa tidak orang-orang Meksiko mengatakan bahwa Anda harus melaksanakan ibadah haji ke kota Meksiko sekali seumur hidup atau Anda tidak akan selamat?

Demikian salah satu bagian isi tulisan Robert Morey dalam buku The Islamic Invasion; Confronting the World’s Fastest Growing Religion terbitan Harvest House Publisher, USA. Buku yang ditulis oleh nonmuslim ini penuh olokan tentang berbagai hal yang ada dalam Islam, salah satunya tentang ritual ibadah haji. Morey mengungkapkan bahwa ibadah haji telah membuat beban yang sangat berat bagi umat Islam di negara-negara berkembang dan miskin karena mereka harus menyisihkan uang yang begitu banyak guna melaksanakan salah satu rukun Islam ini. Ia pun menambahkan bahwa tujuan perintah haji adalah untuk meningkatkan perdagangan dan bisnis di seputar Mekah sehingga membuat negara Arab menjadi kaya raya.

Orang-orang nonmuslim, terutama kaum orientalis, memang banyak yang memperolok agama Islam dalam berbagai hal. Mungkin karena ketidaktahuan mereka akan informasi yang sebenarnya atau mungkin juga karena benar-benar ingin menghina dan mencemooh Islam. Misalnya, menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang yang hiper-sex dan menyalahi Al Quran karena beristri lebih dari empat orang. Islam disebarkan dengan peperangan dan kekerasan dengan adanya penggambaran Al Quran di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Juga pandangan mereka bahwa Islam melarang penyembahan berhala tetapi ternyata umat Islam sendiri menyembah berhala berupa batu, yaitu Ka’bah yang ada di kota Mekah, Arab Saudi.

Hal yang akan dibahas dalam fokus edisi ini adalah yang terakhir, berkaitan dengan Ka’bah di kota Suci Mekah dan lebih luas lagi berkaitan dengan Madinah beserta Masjid Nabawi-nya yang juga merupakan Tanah Haram bagi umat Islam. Sebagaimana informasi yang sudah kita ketahui dari Al Quran, Ka’bah merupakan tempat yang pertama kali dibangun sebagai tempat beribadah manusia kepada Allah swt. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Q.S. Ali Imran 3: 96) Di ayat yang lain juga disebutkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud.’" (Q.S. Al Baqarah 2: 125)

Ka’bah senantiasa menjadi pusat arah peribadahan umat Islam setiap saat di seluruh dunia. Ketika ada umat Islam di satu belahan bumi melaksanakan Shalat Subuh, maka ada pula umat Islam di belahan bumi lainnya ada yang sedang melaksanakan Shalat Isya. Ketika umat Islam di Indonesia sedang melaksanakan Shalat Isya, ada umat Islam di Arab Saudi sedang melaksanakan Shalat Ashar. Ketika ada umat Islam di Jepang sedang melaksanakan Shalat Dhuha, mungkin ada umat Islam di Amerika Serikat sedang melaksanakan Shalat Tahajud. Demikianlah Ka’bah adanya, tak pernah berhenti dan sepi dari hadapan wajah jutaan bahkan miliaran umat Islam di berbagai penjuru dunia. Seperti juga tak pernah berhentinya orang bertawaf mengelilingi Ka’bah dan juga tak berhentinya planet mengelilingi matahari dan atom mengitari intinya.

Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al Maidah 5: 97)

Misteri Hikmah

Ka’bah dan ritual haji memang menyimpan berbagai rahasia hikmah yang mungkin diketahui atau mungkin juga tidak diketahui oleh manusia. Dr. HM. Roem Rowi, M.A., dosen Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, dalam pengantar buku Pusaran Energi Ka’bah mengatakan bahwa syahadat seorang muslim benar-benar diuji dalam ibadah haji, ketika dihadapkan pada berbagai bentuk ibadah yang penuh dengan misteri dan sulit dijangkau oleh akal manusia semata. Di dalamnya juga terdapat tanda-tanda tertentu, seperti Ka’bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, sumur zamzam, dan sebagainya yang juga memendam beribu misteri. Dalam hal ini, jelaslah bahwa keimanan dan ketaatan kita benar-benar dituntut atas berbagai perintah dan ketentuan Allah tersebut, meski kita tidak atau belum mampu mengetahui hikmah di balik perintah itu. Sebagaimana juga beriman dan taatnya Nabi Ibrahim atas perintah Allah untuk meninggalkan keluarganya di tengah-tengah padang pasir dan perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Q.S. Ibrahim 14: 37) “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (Q.S. Ash-Shaffat 37:102).
   
Pada zaman Nabi Muhammad, umat Islam ketika itu juga pernah diuji dengan salah satu perintah Allah untuk memindahkan arah kiblat yang sebelumnya adalah Baitul Maqdis menjadi Ka’bah di Mekah. Ada orang yang menerima dan melaksanakan perintah itu dengan keimanan dan lapang dada, namun ada juga yang menolak dan mengingkarinya. Tentang hal ini dikisahkan dalam firman berikut, “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, ‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al Baqarah 2: 142-145)

Rumah Allah?

Banyak kalangan orientalis menganggap Islam tidak konsisten. Di satu sisi melarang penyembahan berhala, tapi ternyata di sisi lain umat Islam menyembah batu, yaitu Ka’bah. Padahal, sudah dapat dipastikan kita sebagai umat Islam tidak menyembah Ka’bah, melainkan menyembah Allah, Tuhan pemilik Ka’bah dan juga pemilik seluruh alam semesta. Allah swt. berfirman, “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah).” (Q.S. Quraisy 106: 3) Adapun apabila kita melaksanakan shalat dengan menghadap Ka’bah, alasan utamanya tentu karena hal itu memang diperintahkan oleh Allah. Arah itu ditetapkan langsung oleh Allah, bukan datang dari manusia atau Nabi Muhammad sekalipun.

Salah satu hikmah penyeragaman arah tersebut yang coba digali oleh sebagian ulama dan ilmuwan adalah bahwa dengan menghadap pada satu titik, maka di sana terdapat konsep ‘pusat’. Menurut Ir. H. Bambang Pranggono, Ka’bah merupakan pusat konsentrasi energi positif yang dipancarkan orang yang melaksanakan shalat di seluruh dunia. Ka’bah itu dibangun dari batu-batuan biasa, tapi karena banyaknya konsentrasi energi manusia yang beribadah dan bertauhid di situ, maka bebatuan itu merekam dan menyimpan energi sehingga memiliki daya tarik yang bisa menyentuh batin manusia, menjadikan hati manusia lembut dan bisa menangis di sana. Tanpa adanya manusia bertawaf di sekelilingnya, maka energi itu tidak ada. Jadi justru manusialah yang memperkuat energi yang ada dan bukan karena batuan Ka’bah itu sendiri yang memiliki kekuatan.

Beliau pun mengungkapkan bahwa hal ini bukan termasuk urusan klenik, tetapi sesuatu yang ilmiah karena berbagai benda seperti air, logam, dan batu memang bisa menyimpan energi positif, sebagaimana juga yang pernah diungkapkan oleh Prof. Lilik, mantan rektor ITB. Namun, perlu diwaspadai pula bahwa batas antara penjelasan klenik dan ilmiah dalam hal ini memang sangat tipis. Ust. Aam Amiruddin dalam wawancara bersama MaPI menegaskan bahwa adalah sesuatu yang salah kaprah apabila umat Islam menganggap Ka’bah memiliki kekuatan magis. Kalau Ka’bah itu memang sakti, ketika dimasuki berhala-berhala pada zaman dahulu, maka seharusnya berhala-berhala itu akan hancur lebur. Namun buktinya tidak, dan justru manusialah yang menghancurkan berhala-berhala itu, yaitu Nabi Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui, pada zaman sebelum Rasul, Ka’bah dipenuhi dengan berhala-berhala yang jumlahnya sekitar 365 patung, tersebar di dalam dan sekitarnya, termasuk patung Nabi Ibrahim.

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut, tentu menyempurnakan arah kiblat dari tempat kita melaksanakan shalat merupakan sesuatu yang penting agar kita memang benar-benar menghadap ke pusat konsentrasi energi. Namun, lebih penting lagi dan di luar penafsiran tersebut, kesempurnaan arah kiblat harus benar-benar kita perhatikan lagi karena memang merupakan perintah Allah swt. Kita pun tentu ingat bahwa ada beberapa perbuatan lain yang disunahkan atau dilarang menghadap Ka’bah. Misalnya, kita disunahkan tidur menghadap arah kiblat, orang yang meninggal harus dimakamkan juga menghadap kiblat. Kita juga dilarang kencing dan berak membelakangi kiblat.

Adapun tentang alasan mengapa Ka’bah sebagai pusat peribadahan umat Islam terletak di kota Mekah, para ilmuwan juga menduga-duga karena daerah Mekah merupakan daerah yang relatif aman dari bencana alam besar seperti gempa bumi. Sepanjang sejarah hampir tak pernah terjadi gempa bumi yang dahsyat di daratan Mekah. Semua dugaan dan penafsiran itu tentu sangat relatif kebenarannya, dan kebenaran sesungguhnya hanya Allah swt. yang mengetahui.

Orang juga sering mempertanyakan mengapa Ka’bah disebut Baitullah atau Rumah Allah. Menurut Ir. Bambang Pranggono yang merujuk kepada buku karya Ali Syariati, Ka’bah itu bukan Baitullah saja, tetapi juga merupakan rumah manusia atau baitunnas. Ka’bah adalah tempat seluruh manusia berkumpul mengadukan keluhannya, nasibnya, tekanannya, dan cintanya kepada Allah. Allah tidak bisa disebut mempunyai tempat karena Dia bukan zat atau materi. Allah itu immaterial. Selain itu, masjid di mana pun di seluruh dunia ini juga disebut rumah Allah. Jadi, Ka’bah disebut Baitullah atau Rumah Allah bukan kerena Allah tinggal di dalamnya. Terlalu naif kalau kita mengatakan rumah Tuhan di situ, padahal bumi pun bisa hancur. Lantas kalau nanti bumi hancur, di mana rumah Allah?