Selasa, 28 Februari 2006

Islam Memang Moderat



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا (البخاري)

Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu melainkan pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan sikapilah dengan gembira (lapang dada).” (H.R. Bukhari)

Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitabul-Mardha bab "Tamannil-maridhi almauta" (orang sakit mengangankan mati) dan dalam Kitabur-Riqaq bab "Al-qashdu wal-mudawah 'alal-'amal" (bersikap tengah dan kontinyu dalam beramal).

Penjelasan Rasulullah saw. di atas menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam adalah moderat dan jauh dari ekstremitas. Al Quran dan Sunnah telah menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia mencapai kebaikan, kebahagiaan, dan kejayaan dunia serta akhirat. Tidak ada sesuatu pun yang membuat manusia bahagia melainkan pasti dijelaskan oleh Islam. Dan tidak ada pula sesuatu yang membuat manusia celaka melainkan pasti diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam menjelaskan hukum-hukum itu, ada nash-nash yang amat rinci di antaranya penjelasan mengenai praktik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah seperti itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain yang diterangkan secara rinci misalnya pembagian harta waris. Siapa yang berhak memperolah harta waris dan berapa bagian untuk masing-masing orang yang berhak itu.

Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu, yakni para ulama dengan kualifikasi dan persyaratan tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini banyak berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan sebagainya. Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan oleh Islam.

Semuanya tercantum lengkap dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Dan itulah parameter dan acuan kita ber-Islam. Tanpa parameter itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena seseorang tidak suka dengan cara temannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam –yang belum tentu salah— dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang yang selalu mengambil pilihan yang sulit dan ‘keras’ akan menuduh orang yang berbeda dengan dirinya sebagai orang yang tidak komit, lembek, dan penakut. Jadi, tidak ada Islam ekstrem, yang ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw.,

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
 هَلَكَ اْلُمتَنَطِّعُوْنَ, قَالَهَا ثَلاَثًا. (رواه مسلم) 

Dari Abi Mas'ud r.a., Nabi saw. bersabda, Binasalah mutanath-thi’un.” Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (H.R. Muslim)

Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata ‘mutanath-thi’un’ yang ada dalam hadis itu, “Mutanath-thi’un adalah orang-orang yang mendalam-dalami (secara memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang tidak seharusnya keras.”

Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan Islam? Banyak sebab, antara lain:

Pertama, Ilmu Kurang Memadai
Membela dan menegakkan Islam memerlukan kecukupan ilmu. Semangat saja belumlah cukup. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak menguasai sendi-sendi hukum dalam Islam dapat pula memunculkan ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi –semoga Allah menjaganya- menggunakan istilah "dha’ful-bashirati bihaqiqatid-din" (lemahnya pemahaman tentang hakikat agama) untuk menggambarkan hal itu.

Lebih jelasnya beliau menyebutkan, “Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan mutlak tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan sikap ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya pegangan dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama.” (Lihat Ash-Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)

Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku mudah mengafirkan orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib dimiliki oleh para da’i. Ini ditegaskan dalam Al Quran,

قُلْ هذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْ إَلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Q.S. Yusuf 12:108)

Kedua, Memahami Syari’at Islam secara Parsial
Islam diturunkan oleh Allah sebagai din syamil (agama yang komprehensif). Oleh karena itu ia harus dipahami secara syamil pula. Pemahaman parsial tentang Islam (syari’at Islam) mempunyai peran besar dalam memunculkan perilaku ekstrem. Syari’at Islam merupakan bangunan utuh yang satu komponen dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya adalah aqidah dan keimanan. Lantai pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta’abbudi) adalah lantai kedua. Lantai ketiganya adalah muamalat dengan segala cabangnya. Dan bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian itu.

Sesungguhnya syari’at Islam bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan, hukum rajam, atau hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata Islam, menegakkan syari’at Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait dengan hal ini, Dr. ‘Ali Juraisyah menegaskan:

“Bukan hanya dengan hudud syari'at Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah. Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syari’at. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”

Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa “mendirikan” negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah lebih penting dari membina aqidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena kesemuanya itu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari integritas Islam.

Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada bagian yang oleh para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.

Dari situ jelas bahwa aqidah bukan saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia merupakan bagian dari pembahasan iman kepada Allah. Iman kepada Allah adalah rukun pertama dari rukun iman. Selain mempunyai rukun, iman juga mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat “hanyalah” satu dari rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian asasi dari Islam dan bukanlah keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada zikir, ada ukhuwwah, ada khusyu, ada tawadhu’, ada jihad, dan seterusnya.


Ketiga, Tergesa-gesa
Untuk mencapai tujuan selalu ada proses. Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik tujuan itu terkait dengan dunia maupun terkait dengan akhirat. “Apabila untuk mencapainya mengambil jalan pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil berkeyakinan bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan mengantarkan kepada tujuan, ini jelas kesalahan besar. Dari sinilah berangkatnya sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah,” kata Dr. Muhammad Zuhaili.

“Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa nafsunya dan merasa bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya juga diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah jalan yang salah atau kurang,” imbuh Muhammad Zuhaili. (Al-I’tidal Fit-tadayyun hal. 11-12)
           
Sikap isti’jal kerap muncul dan seringkali tampil sebagai ekstremitas. Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi ketika cita-cita menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan kesabaran untuk menempuh perjalanan yang pernah ditempuh Rasulullah saw. Dr. Sayyid Muhammd Nuh menggambarkan sikap isti’jal itu, “Ia ingin mengubah kondisi atau realitas kehidupan kaum Muslimin dalam waktu sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub dan wasilahnya.” (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)

Akibat ketiga hal itu, muncullah sikap-sikap ekstrem, tidak seimbang, dan sikap memberat-beratkan sesuatu yang sesungguhnya ringan. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat ayat:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al Baqarah 2: 185)

Islam diturunkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasulullah saw. dalam keadaan mudah, adil, seimbang, dan wasath (moderat). Jadi, yang paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh ajaran Islam. Dan ekstremitas sering ditampilkan justru oleh orang-orang yang  meninggalkan Islam atau menyimpang dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam.