Jumat, 06 November 2015

Manusia Abadi Negeri Pertiwi (Part 2)



Jenderal Gatot Subroto
 Nama tokoh ini mengiang-ngiang di telinga kita sebagai nama jalan. Kita biasa menyingkat namanya dengan Gatsu. Pria berkumis tebal ini lahir pada 1907. Ia pernah menjadi tentara pada tiga masa, yaitu sebagai tentara KNIL Belanda semasa penjajahan Belanda, tentara PETA selama penjajahan Jepang, dan TKR saat Indonesia merdeka.
    
Sejak kecil ia sudah berwatak keras, tetapi lembut pada sesama warga Indonesia. Saking kerasnya terhadap penjajah, ia pernah dikeluarkan dari sekolah dasar Belanda, ditegur saat berada di KNIL dan tentara PETA. Ia pun kerap memberi santunan dari hasil gajinya pada orang-orang yang anggota keluarganya dalam hukuman penjajah.
    
Selama menjabat pada tiga masa, ia selalu membuat prestasi yang cukup gemilang. Itu sebabnya ia mendapatkan jabatan yang cukup terhormat, seperti menjadi Komandan Kompi di tentara PETA hingga Gubernur Militer Surakarta di TKR. Dengan posisinya ini, ia berhasil menumpas gerakan PKI 1948 di bawah pimpinan Muso.
    
Kecintaannya pada dunia militer membuatnya merasa perlu mendidik angkatan militer sedari muda. Itu sebabnya, ia mengusulkan didirikannya Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI) yang menyatukan Angkatan Udara, Laut, dan Darat dalam satu akademi. Untuk jasa-jasanya itulah namanya diabadikan sebagai nama-nama jalan di kota-kota besar di Indonesia.

R. Otto Iskandardinata
Model di lembaran uang Rp. 20.000 ini adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki keberanian mengungkapkan pendapat sehingga sering dijuluki “Si Jalak Harupat”. Pria kelahiran Bandung, 31 Maret 1897 ini merupakan seorang guru, wakil rakyat di Dewan Kota, pengurus Budi Utomo, dan juga sebagai praktisi media cetak.
    
Pahlawan yang sering kita singkat namanya dengan Otista ini tidak disukai Belanda karena ketajaman lidahnya. Saat menjadi ketua Paguyuban Pasundan, ia banyak membangun institusi demi rakyat Indonesia, seperti sekolah dan bank. Namun, saat penjajahan Jepang, Paguyuban Pasundan dibubarkan. Otto pun tidak tinggal diam. Ia kemudian membidani terbitnya surat kabar Warta Harian Cahaya. Selain itu, ia aktif sebagai anggota Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), Jawa Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat Jawa), dan Cuo Sang In (DPR). Menjelang kemerdekaan, ia ikut dalam PPKI menyusun UUD 1945. Kemudian ia membentuk BKR dan menjadi Menteri Negara dalam kabinet RI. Otto diculik pada Oktober 1945. Tak lama, ia meninggal di Banten pada 20 Desember 1945. Jasadnya dimakamkan di Lembang, Bandung, pada 1947.
    
Nama-nama di atas adalah contoh bagi kita untuk merenungkan kematian seperti apakah yang kita inginkan kelak. Sekarang, kita bisa membedakan mana tokoh-tokoh yang meninggalkan nama harum dan mana yang meninggalkan kebencian. Kita pun takkan berbeda saat di kemudian hari orang-orang mendefinisikan keadaan kita apakah masuk kategori orang yang meninggalkan nama harum atau justru hujatan. Kiranya, belum terlambat bagi kita untuk menentukan selama hayat masih dikandung badan.

Kehidupan ini hanya proses. Dari proses tersebut, kita akan melengkapi puzzle masa depan. Jika diisi dengan keburukan, bentuk akhirnya adalah hujatan. Jika dirangkai dengan kebaikan, tampilan akhirnya adalah kemuliaan.
    
“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Yunus 10: 23).
    
Rahmat