Jumat, 16 Oktober 2015

Parabola = Pisang Goreng


Wawancara Ekslusif Bersama Ust. Aam Amiruddin :

Adakah keterangan dalam Al Quran maupun hadis mengenai sejarah Ka’bah?
Sampai saat ini, saya belum menemukan hadis sahih yang membahas secara detail mengenai Ka’bah. Memang ada beberapa riwayat mengenai Ka’bah, hanya saja kebanyakan la asla lahu, tidak jelas asal usulnya. Keterangan paling jelas yang dapat kita jadikan landasan pengetahuan tentang Ka’bah adalah apa yang ada dalam Al Quran, salah satunya dalam surat Ali Imran ayat 96, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.

Ada beberapa kisah berbeda tentang sejarah pembangunan Ka’bah, bagaimana kita menyikapinya?
Memang ada beberapa pendapat yang beredar di kalangan ulama. Ada sebagian ulama yang tidak menerima keterangan apa pun jika bukan bersumber dari ayat dan hadis sahih, namun ada pula ulama-ulama yang bersikap tawakkuf atau no comment, artinya mereka tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Sebenarnya sikap tawakkuf para ulama ini tak hanya yang berkaitan dengan Ka’bah saja, melainkan juga dalam hal ibadah haji yang lainnya, seperti mengenai Hajar Aswad. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Hajar Aswad adalah batu dari surga, namun ada sebagian yang menentang. Hal ini berdasar pada sikap Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa Hajar Aswad hanyalah batu biasa. Umar pernah berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan sudi mencium.” Ini gambaran bahwa Umar tidak meyakini Hajar Aswad sebagai batu dari surga. Dengan demikian, Hajar Aswad hanyalah dijadikan patokan memulai tawaf. Sebelum tawaf, umat Islam mengisyaratkan atau menciumnya.

Para orientalis mencemooh Islam karena melarang menyembah berhala tapi ternyata umat Islam sendiri menyembah batu atau Ka’bah. Pendapat Anda?
Kita tidak bisa terlalu menyalahkan mereka dengan pandangan itu karena mereka melihat perilaku orang Islam sekarang yang juga terlalu berlebihan terhadap Ka’bah seperti meratapi dan meraung-raung di seputar Ka’bah. Kalau mereka menyikapinya seperti Umar, tentu ini tidak akan terjadi. Berkaitan dengan ritual tawaf dalam haji atau umrah, Rasul memberikan beberapa alternatif mengenai Ka’bah ini, apakah memegang, mencium, atau hanya memberikan isyarat. Dan Nabi mengatakan bahwa itu hanya ritual. Jadi, bukan berarti mengabdi atau memuliakan batu. Tetap kita bermunajat kepada Allah, Ka’bah hanya sebagai fokus dan arah penyeragaman saja.

Ada yang menafsirkan bahwa Ka’bah itu merupakan pusat konsentrasi energi orang-orang yang melakukan shalat. Benarkah demikian?
Itu adalah penafsiran. Seperti saya bilang tadi, Ka’bah hanya sebuah tanda penyeragaman saja. Kata-kata dalam Al Quran, “fawalli wajhaka satral masjidil haram” itu tujuannya hanya sekadar penyeragaman. Justru tafsir yang dihubung-hubungkan seperti inilah yang bisa jadi menimbulkan berbagai pertanyaan atau tuduhan dari para orientalis tersebut.

Apa kaitan antara Ka’bah dan Baitul Maqdis?
Dulu para nabi setelah generasi kedua (keturunan Yehuda), yakni Nabi Musa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, termasuk Nabi Isa, semua berkiblat ke Baitul Maqdis. Nabi Muhammad, yang merupakan nabi terakhir, memohon kepada Allah agar umat Islam diberi kiblat yang berbeda karena umat Islam sebagai umat penutup. Allah mengabulkan permintaan itu, Ia memerintahkan Muhammad dan umat Islam untuk beribadah menghadap ke Baitullah. Kalaupun umat Islam dahulu pernah shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, hanya gambaran bahwa secara historis Islam merupakan agama Samawi, jadi tidak bisa dipisahkan dengan agama-agama Samawi lainnya.

Apakah Baitul Maqdis adalah Masjidil Aqsa?
Baitul Maqdis lebih menggambarkan suatu area yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsa. Seperti Ka’bah yang berada di area Masjidil Haram dan Masjidil Haram berada di area kota Mekah. Jadi, Masjidil Aqsa ada di Baitul Maqdis. Masjidil Aqsa yang sekarang ini sudah mengalami banyak perubahan.

Hal apa saja yang berkaitan dengan Ka’bah yang sering menyebabkan umat Islam salah kaprah?
Pertama, menganggap Ka’bah memiliki kekuatan magis, artinya Ka’bah itu bisa memberikan kemuliaan dan kesejahteraan. Kedua, merasa afdol kalau sudah bisa menyentuh, memegang, terlebih mencium Hajar Aswad. Apalagi setelah itu ia membangga-banggakan diri di depan kawan-kawannya bahwa dirinya telah mencium Hajar Aswad dan memegang Ka’bah, seolah-olah ibadah haji dan umrahnya tidak afdol jika tidak melakukan hal tersebut. Mereka harusnya sadar bahwa mencium ataupun tidak mencium Hajar Aswad, memegang ataupun tidak memegang Ka’bah, tidak ada hubungannya dengan kesempurnaan ibadah haji atau umrah. Selain itu, mencium Hajar Aswad dan mengusap Ka’bah seolah-olah menjadi lebih utama daripada shalat. Terlihat ketika shalat berjamaah di sana, Imam baru mengucapkan “assalam ….” Dan itu belum selesai, beberapa jamaah sudah loncat mencium Hajar Aswad. Ini aneh dan salah, harusnya selesaikan dahulu salam, kalau memang telah menyelesaikan shalat dan mau mencium Hajar Aswad, silakan.

Bagaimana dengan keutamaan Masjid Nabawi di Kota Madinah?
Ada beberapa keutamaan Masjid Nabawi, pertama aspek historisnya. Bagaimanapun itu adalah masjid yang sangat dirindukan oleh Rasul. Kedua, selain beribadah di Masjidil Haram (karena keutamaannya lebih tinggi), shalat di Masjid Nabawi akan mendatangkan pahala yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pahala yang kita terima jika kita shalat di masjid-masjid lain. Ketiga, Bukhari menyebutkan dalam hadisnya bahwa di Masid Nabawi terdapat Raudah, salah satu taman dari taman-taman di surga. Sebenarnya itu hanya merupakan isyarat tentang betapa mustajabnya apabila kita memanjatkan doa di sana. Walaupun shalat di Masjid Nabawi terutama di Raudah merupakan keutamaan, tapi tetap harus dipikirkan agar kita tidak menyakiti orang lain (pada musim haji, ibadah di Raudah penuh sesak, sehingga tidak menutup kemungkinan karena berebut, ada orang-orang yang akan tersenggol, terinjak, dll.) jika hal ini terjadi, ini malah keliru.

Tak sedikit umat Islam yang menunda-nunda melaksanakan ibadah haji karena merasa belum siap. Bagaimana dengan hal ini?
Wajar kalau sebagian umat Islam menganggap bahwa ibadah haji memerlukan persiapan-persiapan khusus karena melibatkan quwwah maliyyah (kekuatan materi), quwwah jasadiyyah (kekuatan jasad), quwwah ilmiyyah (kekuatan ilmu) –misalnya perlu belajar manasik, dan quwwah ruhiyyah (kekuatan mental). Sehingga wajar kalau dianggap haji itu bobotnya lebih tinggi dari ibadah yang lainnya karena mungkin melibatkan empat kekuatan itu. Tapi juga keliru kalau kita terlalu menganggap persiapannya harus benar-benar sempurna. Selama sudah memungkinkan untuk pergi, tidak perlu beralasan, misalnya ada istilah “menunggu sampai insyaf”. Menurut saya tidak perlu.

Jamaah haji Indonesia terkenal “tukang belanja”, bagaimana tanggapan Anda?
Masyarakat Indonesia memang telah dikenal sebagai masyarakat “tukang belanja”, tapi jangan salah, ada hal positifnya. Orang-orang tahu kalau orang Indonesia berbelanja, itu tidak diperuntukkan bagi dirinya, melainkan untuk silaturahmi atau oleh-oleh untuk kerabat. Saya melihatnya tidak ada masalah. Tapi kalau tujuan belanja untuk berfoya-foya, itu yang bermasalah.

Bagaimana pandangan Anda mengenai Madinah dan Mekah sebagai sebuah kota?
Saya awam dalam bidang arsitektur. Sebagai orang awam, saya melihat kota Mekah sebagai kota tambal sulam. Jadi, ilmu tata kotanya aneh. Beda dengan Madinah yang tata kotanya sudah mulai rapi. Mungkin penyebabnya adalah faktor geografis karena kita tahu Mekah dikelilingi oleh gunung batu, sehingga untuk menata kota agar lebih indah, terbentur keberadaan gunung-gunung batu tersebut. Kalau Madinah daerahnya luas, datar, dan lapang, sehingga saya lihat dari aspek tata kota, Madinah itu lebih indah daripada Kota Mekah.

Bagaimana segi sosial masyarakat di kedua kota tersebut?
Menurut pengalaman saya, masyarakat asli Madinah lebih ramah daripada masyarakat Mekah. Jika dirunut dari segi historisnya, mungkin karena dari dahulu orang Madinah adalah pedagang. Memang jiwa pedagang itu selalu ingin membina hubungan baik dengan siapa pun. Jadi penduduk asli Madinah lebih ramah daripada orang Mekah secara hubungan sosialnya, tapi tetap kembalinya ke individual juga.

Bagaimana tingkat kecerdasan orang-orang Arab?
Itu sangat individual. Tetapi sudah menjadi karakter bangsa mana pun jika masyarakatnya berkecukupan atau mendapatkan kekayaan tanpa kerja keras, mereka menjadi cenderung malas. Begitupun sebaliknya, jika penduduk suatu bangsa memperjuangkan kekayaannya, maka biasanya mereka akan memeras otaknya, jadi otomatis akan lebih kreatif dan lebih cerdas. Repotnya bagi orang-orang yang mendapatkan kekayaannya dengan mudah mereka merasa tidak perlu mengoptimalkan otaknya, padahal tidak sedikit di antara mereka yang sebenarnya pintar. Yang saya khawatirkan adalah nasib dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Pada saat persaingan global itu sudah benar-benar terjadi, dikhawatirkan mereka memiliki jiwa yang kurang fight, mereka tidak siap dalam bersaing.

Dari segi modernisme dan kecenderungan globalisasinya?
Gaung Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Mekah dan Madinah telah megalahkan kemaksiatan, walaupun kemaksiatan memang ada. Kalau yang dimaksud modernisasi itu hal-hal yang terukur, seperti bangunan dan yang berkaitan dengannya, memang Madinah lebih modern daripada Mekah yang lebih tradisional. Tapi kalau yang dimaksud kemodernan itu gaya hidup, mungkin trendnya ada di luar Mekah dan Madinah karena kedua kota ini dianggap kota suci yang relatif masih ada rem.

Di Madinah gaya hidup masyarakatnya lebih cenderung keamerika-amerikaan, benarkah?
Sebenarnya di Saudi, gaya hidup Amerika sudah menjadi gaya hidup masyarakatnya. Contoh sederhana, minuman dan makanan produk Amerika semua masuk ke sana. Saya melihat bukan hanya di Madinah, tetapi juga di Mekah. Hanya memang di Madinah hal seperti ini relatif terbuka. Ini jika saya mengamati sisi modernitas lahiriahnya. Sebenarnya yang saya khawatirkan lebih ke modernitas ideologi yang nantinya akan merusak akidah. Untuk ukuran penghasilan mereka, membeli parabola seperti membeli pisang goreng. Padahal film-film yang ditayangkan adalah film-film dari Eropa yang relatif bebas nilai. Saya khawatir simbol-simbol lahiriah masyarakat Saudi masih Islam, sementara ideologi dan cara berpikirnya sudah sekuler.

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi?
Saya tidak begitu tahu sejauh mana kebijakannya. Hanya yang saya tahu memang tidak ada teknologi yang bisa melacak acara-acara yang ditayangkan lewat satelit/antena parabola.

Yang terakhir, apa saran Anda berkaitan dengan masalah Ka’bah dan haji ?
Pertama, ketika membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal-hal tersebut –Ka’bah— jangan dulu didustakan atau diiyakan kecuali ada riwayatnya. Suatu tulisan kalau tidak ada riwayatnya, jangan dulu dipercaya karena banyak yang “tersesat” setelah membaca buku-buku yang kurang berkualitas. Kedua, kalau akan melaksanakan haji untuk yang pertama kali, disarankan ikut bimbingan karena akan sangat membantu. Memang biaya ada tambahan, tapi untuk suatu hasil yang lebih bagus, uang menjadi hal yang bisa diusahakan. Saya banyak menemukan keprihatinan orang yang haji tanpa ikut bimbingan, kualitas ibadahnya menjadi sangat rapuh.
Agung