Sabtu, 07 November 2015

Niatnya Ibadah, Bonusnya Dikenang

Wawancara dengan Taufiq Ismail
(Sastrawan dan Penyair)

Menurut Anda, kenapa manusia ingin hidup abadi?
Sebenarnya ada yang mau peduli dan ada yang tidak peduli. Orang yang peduli karena ia didukung oleh keimanan bahwa ada kehidupan di akhirat yang kekal. Dan orang yang tidak peduli adalah orang yang tidak percaya ada kehidupan setelah kehidupan ini.

Jadi, manusia memang tidak bisa hidup abadi?
Kehidupan di dunia tidak abadi. Ya… cuma sepanjang fisiknya mendukung. Hanya memperpanjang waktu saja. Manusia boleh saja ingin hidup selama mungkin, tapi toh sewaktu-waktu akan berakhir.

Bagaimana dengan usaha manusia yang mencoba mengabadikan namanya dengan membuat karya-karya tertentu?

Percuma saja. Nanti 40 sampai 50 tahun akan dikenang orang. Setelah itu belum tentu. Kemungkinan tenggelam.

Banyak tokoh yang melakukan berbagai cara agar namanya bisa masuk dalam sejarah, bagaimana menurut Anda?

Banyak cara untuk bisa dikenang dan disebut-sebut namanya. Ada orang yang memanjat gedung dengan ketinggian tertentu, mencoba menyeberangi samudra, dan banyak lagi. Ya… semuanya ada baiknya. Saya tidak akan memberikan penilaian. Yang jelas, saya tidak akan berbuat demikian. Niatnya hanya untuk amal saleh.

Bagaimana dengan Anda? Bukankah Anda juga menghasilkan karya-karya besar?
Saya menulis sebagai amal saleh untuk sesama manusia. Hasilnya diserahkan pada Allah untuk kehidupan abadi di akhirat. Kalau dikenang orang, ya… Alhamdulillah. Saya akan gembira kalau orang mengenang saya. Saat orang mendengar dan membaca karya saya seperti karya Rindu Rasul, yang isinya shalawat, mudah-mudahan akan ada maknanya. Yang penting bukan saya, tapi karya saya yang dikenang.

Kalau diberi kesempatan untuk bisa melakukan hal lebih, apa yang ingin Anda lakukan?
Saya ingin lebih banyak menulis dan beramal saleh. Contohnya sudah sejak lama saya dan kawan-kawan di majalah Horison prihatin dengan kondisi tertinggalnya budaya baca tulis di sekolah. Maka, kami mencoba melakukan kegiatan-kegiatan dan acara, seperti Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya.

Apa Anda tidak ingin dikenang?
Saya tidak bersemangat untuk bisa dikenang. Saya hanya bersemangat untuk melakukan yang bermanfaat bagi masyarakat. Melakukan hal terbaik untuk kehidupan ini, manfaatnya sebagai tabungan untuk masa yang akan datang, di kehidupan akhirat. Kalau pun dikenang, ya… Alhamdulillah. Berarti itu bonus.

Rahmat

Jumat, 06 November 2015

Manusia Abadi Negeri Pertiwi (Part 2)



Jenderal Gatot Subroto
 Nama tokoh ini mengiang-ngiang di telinga kita sebagai nama jalan. Kita biasa menyingkat namanya dengan Gatsu. Pria berkumis tebal ini lahir pada 1907. Ia pernah menjadi tentara pada tiga masa, yaitu sebagai tentara KNIL Belanda semasa penjajahan Belanda, tentara PETA selama penjajahan Jepang, dan TKR saat Indonesia merdeka.
    
Sejak kecil ia sudah berwatak keras, tetapi lembut pada sesama warga Indonesia. Saking kerasnya terhadap penjajah, ia pernah dikeluarkan dari sekolah dasar Belanda, ditegur saat berada di KNIL dan tentara PETA. Ia pun kerap memberi santunan dari hasil gajinya pada orang-orang yang anggota keluarganya dalam hukuman penjajah.
    
Selama menjabat pada tiga masa, ia selalu membuat prestasi yang cukup gemilang. Itu sebabnya ia mendapatkan jabatan yang cukup terhormat, seperti menjadi Komandan Kompi di tentara PETA hingga Gubernur Militer Surakarta di TKR. Dengan posisinya ini, ia berhasil menumpas gerakan PKI 1948 di bawah pimpinan Muso.
    
Kecintaannya pada dunia militer membuatnya merasa perlu mendidik angkatan militer sedari muda. Itu sebabnya, ia mengusulkan didirikannya Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI) yang menyatukan Angkatan Udara, Laut, dan Darat dalam satu akademi. Untuk jasa-jasanya itulah namanya diabadikan sebagai nama-nama jalan di kota-kota besar di Indonesia.

R. Otto Iskandardinata
Model di lembaran uang Rp. 20.000 ini adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki keberanian mengungkapkan pendapat sehingga sering dijuluki “Si Jalak Harupat”. Pria kelahiran Bandung, 31 Maret 1897 ini merupakan seorang guru, wakil rakyat di Dewan Kota, pengurus Budi Utomo, dan juga sebagai praktisi media cetak.
    
Pahlawan yang sering kita singkat namanya dengan Otista ini tidak disukai Belanda karena ketajaman lidahnya. Saat menjadi ketua Paguyuban Pasundan, ia banyak membangun institusi demi rakyat Indonesia, seperti sekolah dan bank. Namun, saat penjajahan Jepang, Paguyuban Pasundan dibubarkan. Otto pun tidak tinggal diam. Ia kemudian membidani terbitnya surat kabar Warta Harian Cahaya. Selain itu, ia aktif sebagai anggota Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), Jawa Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat Jawa), dan Cuo Sang In (DPR). Menjelang kemerdekaan, ia ikut dalam PPKI menyusun UUD 1945. Kemudian ia membentuk BKR dan menjadi Menteri Negara dalam kabinet RI. Otto diculik pada Oktober 1945. Tak lama, ia meninggal di Banten pada 20 Desember 1945. Jasadnya dimakamkan di Lembang, Bandung, pada 1947.
    
Nama-nama di atas adalah contoh bagi kita untuk merenungkan kematian seperti apakah yang kita inginkan kelak. Sekarang, kita bisa membedakan mana tokoh-tokoh yang meninggalkan nama harum dan mana yang meninggalkan kebencian. Kita pun takkan berbeda saat di kemudian hari orang-orang mendefinisikan keadaan kita apakah masuk kategori orang yang meninggalkan nama harum atau justru hujatan. Kiranya, belum terlambat bagi kita untuk menentukan selama hayat masih dikandung badan.

Kehidupan ini hanya proses. Dari proses tersebut, kita akan melengkapi puzzle masa depan. Jika diisi dengan keburukan, bentuk akhirnya adalah hujatan. Jika dirangkai dengan kebaikan, tampilan akhirnya adalah kemuliaan.
    
“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Yunus 10: 23).
    
Rahmat

Menyusun Puzzle Kehidupan (Part 3)



Abadi Bersama Cahaya
    
Keabadian terus melekat pada mereka yang memberi andil besar bagi sejarah dan kehidupan umat manusia, baik karena keburukan maupun kebaikannya. Pada abad ke-19 dan ke-20, dunia dihiasi kaum intelektual yang berhasil mengabadikan karya-karyanya, baik dalam bidang sosial maupun teknologi.
    
Salah satu di antara mereka adalah Thomas Alva Edison. Berkat temuannya, kini rumah kita benderang dihiasi bola lampu pijar seukuran telapak tangan. Bukan hal yang mudah dan singkat hingga Edison mampu meraih kesuksesan. Ia mesti belajar dan melakukan banyak sekali percobaan.
    
Edison lahir 11 Pebruari 1847, di Ohio, Milan, dari pasangan Samuel Ogden Edison, Jr. dan Nancy Matthews Elliott. Ia adalah anak bontot dari 7 bersaudara. Dibanding kakak-kakaknya, Edison kecil mengalami kesulitan kemampuan bicara. Namun saat ia mampu bicara, tepatnya pada umur empat tahun, sifat kritisnya mulai tampak. Apa pun yang ia lihat selalu ia tanyakan. Saat tak ada yang mampu menjawabnya, ia selalu berkata, “Mengapa?”
    
Sikap kritis Edison pulalah yang membuat sang ibu mengeluarkannya dari sekolah. Gurunya menganggap Edison sebagai anak aneh dan ia sering dibuat jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang tak lazim ditanyakan anak seusianya. Beruntung, sang ibu yang juga seorang guru, mampu mengajari Edison di rumah. Ia membimbing Edison kecil dengan membiarkan hari-hari Edison larut dalam tumpukan buku di perpustakaan-perpustakaan di kotanya.
    
Selain itu, sang ayah membiarkan Edison tumbuh menjadi remaja yang mandiri. Di usia 12 tahun, ia mulai mencoba berjualan dengan menjajakan permen dan koran di kereta. Itu sebabnya anak muda yang akrab dipanggil Al ini lebih cepat tumbuh dewasa ketimbang remaja seusianya. Di usia ini pula ia mulai kehilangan sedikit pendengarannya.
    
Karena kebaikan hatinya menyelamatkan nyawa seorang anak seorang pekerja di stasiun pengiriman telegraf, di umur 15 tahun ia diangkat sebagai pegawai pengirim telegraf. Pendengarannya yang sedikit terganggu membuatnya bisa tetap konsentrasi mendengarkan suara morse walau di tempat bising sekalipun. Di tempat inilah ia menghasilkan penemuan pertamanya. Penemuan ini berupa Automatic Repeater (pengulang otomatis) yang membuat pengiriman telegraf menjadi lebih efisien. Sayangnya, temuannya ini tidak pernah ia patenkan.
    
Sang penemu bohlam ini pun sempat mengalami kekecewaan karena didahului Alexander Graham Bell untuk penemuan telepon. Namun, kekecewaannya itu ia gunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan puluhan penemuan lainnya yang berguna bagi masyarakat luas. Ia mengumpulkan teman-temannya dan mulai mendirikan laboratorium penelitian sendiri. Dalam sejarah, inilah laboratorium pertama yang dikhususkan untuk mengembangkan penelitian berbau teknologi dan penemuan-penemuan baru. Bersama peneliti-peneliti di dalamnya, laboratorium Edison yang bertempat di Menlo Park, New Jersey, menjelma menjadi laboratorium sekaligus tempat bisnis yang sukses.
    
Keberhasilan Edison terutama karena temuannya akrab dengan kebutuhan masyarakat, ditambah otak bisnisnya yang encer. Ia selalu memproduksi hasil temuannya dalam jumlah besar dan menjualnya pada masyarakat setelah mendapat hak paten. Puncaknya saat ia menemukan bola lampu pijar. Saat itu pula ia mulai menjual bola ajaib yang bersinar itu pada masyarakat sekaligus mengalirkan listrik ke rumah-rumah.
    
Di hari tuanya, saat ia kembali ke Milan, ia dikejutkan dengan kondisi di mana ternyata rumahnya sendiri masih menggunakan lilin dan lampu minyak. Ia menghabiskan masa tuanya dengan berdiet dan hanya meminum 0,56 lt susu tiga kali sehari. Sebulan sebelum meninggal, ia berhasil menemukan sistem kereta listrik yang dipakai New Jersey. Tepat pada 18 Oktober 1931, Bapak Bohlam ini dipanggil menghadap Yang Kuasa di usai 84 tahun.
    
Penemu dan pebisnis sukses ini wafat dengan banyak menghasilkan temuan dan penghargaan. Saking berpengaruhnya, di New Jersey dibangun patung dan museum untuk mengenangnya. Bisnisnya kemudian diteruskan oleh anaknya, Charles Edison dan terus menghasilkan terobosan-terobosan baru di bidang teknologi.
Rahmat

Manusia Abadi Negeri Pertiwi (Bagi 1)



Manusia Abadi Negeri Pertiwi
    
Banyak dari kita yang belum tentu tahu siapa gerangan nama-nama yang sering kita lihat dan baca di papan nama jalan ataupun gedung-gedung instansi pemerintah. Kebanyakan dari kita hanya menghapalnya untuk mendukung rutinitas kehidupan kita sehari-hari, bukan karena memang mengetahui siapa sebenarnya pemilik nama-nama tersebut dan seberapa besar jasanya hingga pemerintah perlu mengabadikannya. Beberapa di antara tokoh-tokoh tersebut antara lain:

dr. Cipto Mangunkusumo
Di bilangan Jl. Salemba Raya, Jakarta, berdirilah rumah sakit yang diberi nama R.S. Cipto Mangunkusumo. Pemilik nama ini adalah seorang yang dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 09/ tahun 1964, tertanggal 2 Mei 1964. Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter yang bekerja pada pemerintahan Belanda. Pria kelahiran 1886 ini sebenarnya sudah teramat gerah dengan sepak terjang Belanda yang menyiksa bangsanya. Sebagai wujud pelampiasan, ia sering menumpahkannya di surat kabar De Express.
    
Tulisan-tulisannya yang bernada kritik membuatnya mendapat peringatan keras dari Belanda, jika tidak izin dokternya bisa dicabut. Ancaman itu justru dilayaninya dengan memilih tetap menulis dan melepas jabatannya. Puncaknya, ia ditangkap saat menulis artikel yang mengkritik keinginan Belanda untuk merayakan seratus tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia.
    
Ia pun berkali-kali mengalami pembuangan, dari Belanda, Bandung, Banda Neira, Ujung Pandang, Sukabumi, hingga ke Jakarta yang merupakan kota tempatnya mengembuskan napas terakhir. Sebagai dokter, ia telah berhasil membasmi wabah pes di daerah Malang. Tak satu pun dokter Belanda yang  mau terlibat karena sifat penyakit ini yang sangat menular. Untuk keberhasilan tersebut, pemerintah Belanda mengganjarnya dengan penghargaan Bintang Orde van Oranye Nassau yang kemudian ia tolak. Karena jasanya yang tak terhitung , tak aneh jika pemerintah Indonesia mengabadikannya menjadi nama sebuah rumah sakit besar di Jakarta. 

Penulis : Rahmat

Kamis, 05 November 2015

Menyusun Puzzle Kehidupan (Part 2)



Keangkuhan yang Terabadikan
    
Ada Hitler, ada pula Fir’aun. Tentunya telinga kita sudah akrab dengan nama ini. Dalam Al Quran, ada 94 ayat yang menyebut nama tokoh diktator yang melegenda ini. Jika Hitler mati terbakar karena malu menanggung kekalahan, Fir’aun mati tenggelam karena malu untuk mundur dari mengejar Musa. Dua tokoh tersebut mati karena keangkuhannya.
    
Fir’aun sebenarnya adalah gelar raja-raja Mesir terdahulu. Dalam dialek Inggris diterjemahkan menjadi Pharaoh. Fir’aun yang tertulis dalam Al Quran muncul pada ayat-ayat yang menceritakan tentang kehidupan Nabi Yusuf dan Nabi Musa. Hanya pada kisah Nabi Yusuf, Allah menyebutnya dengan sebutan Malik. Berbeda dengan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehidupan Nabi Musa yang langsung Allah sebut dengan istilah Fir’aun.
    
Nama asli Fir’aun yang mengejar Nabi Musa dan tewas tenggelam di Laut Merah adalah Mineptah atau bergelar Ramses III. Dia sebenarnya mewarisi negeri Mesir dalam keadaan damai dan sejahtera dari Ramses II. Tapi, mungkin karena kedamaian dan ketentraman tersebut ia menjadi lupa diri sehingga mengangkat dirinya menjadi penguasa bak Tuhan yang harus disembah dan dipatuhi seluruh rakyatnya.
    
Allah berfirman, “Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash 28: 4).
    
Sebenarnya, Mineptah-lah yang membesarkan Musa. Dalam Al Quran ditulis bahwa Musa kecil dihanyutkan ibunya ke sungai akibat takut ketahuan pegawai kerajaan karena memiliki anak lelaki. Allah menjanjikan akan menjaga Musa dan menempatkannya pada keluarga terhormat yang ternyata Musa kecil ditemukan oleh Istri Mineptah, Asiah. Agar tetap bisa bersamanya, ibu Musa menawarkan diri pada Asiah untuk bisa merawat Musa kecil hingga dewasa.
    
Musa kecil dikisahkan tumbuh menjadi anak pembangkang yang selalu berbeda pendapat dengan ayahnya, sang Mineptah. Naluri kebenarannya mulai tumbuh. Saking kesalnya, Mineptah akhirnya membakar lidah Musa kecil yang akhirnya hingga dewasa Musa menjadi seorang yang cadel dan kurang jelas bicaranya. Di kemudian hari Allah memberikan Nabi Harun untuk menjadi pendamping dan teman Musa dalam menjalankan misi dakwahnya.
    
Singkat kata, Musa yang telah menerima wahyu gencar meminta sang ayah angkat untuk sadar dan mengakui keesaan Allah. Akibatnya, anak-ayah ini menjadi musuh bebuyutan. Sampai-sampai, untuk membalas mukjizat sang anak, Mineptah menghadirkan tukang-tukang sihir terbaik Mesir. Namun, dasar memang Musa membawa kebenaran, para tukang sihir itu justru berbalik memihak Musa dan mengatakan rela mengakui keesaan Allah. Puncaknya, perseteruan tersebut menempatkan Musa dan pengikutnya sebagai orang yang paling dicari dan dibenci sang Mineptah.
    
Mengetahui niat buruk sang raja, Musa diperintahkan Tuhan untuk segera melarikan diri ke luar dari negeri Mesir menyeberangi Laut Merah. Sampai di tepi Laut Merah, Musa yang panik tidak tahu harus berbuat apa untuk menyeberangi lautan nan luas itu demi menyelamatkan diri dan para pengikutnya. Lalu, Allah memberikan mukjizat kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke arah Laut Merah. Ajaib, laut tersebut terbelah sehingga membentanglah terowongan yang di kiri dan kanannya adalah lautan yang bergolak.
    
Akhir cerita sudah bisa kita tebak, “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (Q.S. Al Baqarah 2: 50). Saat Mineptah lewat, laut bergulung dan kembali menyatu menutup terowongan yang ia lewati. Terhanyutlah manusia angkuh yang mengaku bahwa dirinya Tuhan. Saat ajal sudah dekat, saat nyawa sudah sampai kerongkongan, terbersitlah kata tobat dari Mineptah. Namun, apa lacur, semua sudah terlambat. Mineptah mati tenggelam dalam keadaan kafir.
    
Sesuai janji Allah, berabad-abad setelah peristiwa itu, jasad Fir’aun tetap abadi. Menurut seorang dokter ahli bedah paling masyhur berkewarganegaraan Prancis, Dr. Morris Bukay, jasad Mineptah yang asli ditemukan di pekuburan Lembah Raja di Thoba (Tiba), di pinggir lain dari Sungai Nil di depan kota al-Aqshar (Luxor City) saat ini. Mumi yang selama ini dikenal masyarakat luas sebagai Mineptah ternyata hanyalah seseorang yang juga mengejar Musa dan ikut mati tenggelam.
    
Bagaimana pun caranya, inilah salah satu bukti dan cara Allah menunjukkan pada kita bahwa keangkuhan dan lupa diri akan membawa kita pada jurang kesesatan. Dan Allah mengabadikan Mineptah alias Ramses III alias Fir’aun dalam Al Quran dan bukti nyata berupa jasadnya yang masih sempurna tanpa cacat.

(bersambung)