Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, ‘Siapa yang memusuhi wali (kekasih)-ku maka aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’” (H.R. Bukhari)
Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu merupakan hadits qudsi. Yakni firman Allah yang disampaikan dengan redaksi dari Rasulullah Saw. Hadits itu memberikan peringatan keras agar kita tidak memusuhi wali (orang dicintai) Allah. Kepada orang yang memusuhi atau menyakiti wali Allah itu, Dia menyatakan perang. Artinya, Allah sangat tidak suka dan memusuhi orang yang memusuhi kekasih-Nya.
Namun, siapakah yang disebut wali (kekasih) Allah itu? Kita amat perlu mendapat kejelasan tentang orang macam apa yang disebut wali Allah itu. Sejauh ini –di negeri kita tercinta Indonesia—para wali Allah dilukiskan sebagai sosok orang sakti. Tengok saja misalnya penggambaran para wali dalam film-film atau sinetron-sinetron. Wali sering dilukiskan sebagai sosok dengan pakaian jubah putih lusuh; rambut, jenggot, dan kumis panjang seperti tak terurus; punya kesaktian seperti terbang melayang di udara atau berjalan di atas air. Tidak ketinggalan tongkat dan tasbih yang selalu dibawa ke mana pun pergi. Dia tidak punya kecenderungan, bahkan sekadar peduli dengan urusan dunia. Apa pekerjaannya? Bertapa dan mengisolasi diri dari kehidupan.
Bahkan, ada wali –yang dilukiskan dalam sebuah film- melakukan pertapaan di sebuah hutan, di tepi sungai entah berbilang bulan entah tahun, yang jelas sampai seluruh tubuhnya diselimuti lumut hijau dan menjadi tempat bertenggernya burung-burung yang lewat di sana. Maasyaa Allah! Lalu, bagaimana dengan shalatnya, dengan ibadah-ibadah lainnya?
Itu memang film. Di dunia nyata, persepsi tentang wali Allah tidak kalah anehnya. Ada seseorang yang dianggap ulama. Pada suatu hari dia menjadi narasumber dalam sebuah seminar. Ada seorang peserta seminar yang jeli, memperhatikan ternyata sang narasumber tadi tidak melakukan shalat. Zhuhur lewat. Ia pikir mungkin akan dijama’ dengan shalat Ashar. Tetapi Ashar pun lewat dan Ia tidak juga terlihat melakukan shalat hingga maghrib tiba. Ketika orang itu menyampaikan rasa penasarannya kepada orang yang dianggap punya hubungan baik dengan sang kiai, ia malah menjawab, “Lha, dia itu wali! Jadi sudah tidak perlu shalat seperti kita!” Ketika sang penanya mendebat, pembela kiai itu mengeluarkan kata pamungkas, “Sudahlah, ilmu kamu itu belum sampai...” Dan karenanya, dia tidak pernah bersalah dan tidak boleh dianggap salah.
Ada lagi sebuah kisah. Di sebuah pesantren ada seorang kiai yang menjadi pimpinan di sana. Saat para santri dan masyarakat shalat berjamaah, sang kiai tidak pernah terlihat ikut shalat. Padahal, dia tidak pernah pergi meninggalkan pesantrennya. Ketika hal itu ditanyakan kepada orang-orang terdekatnya, mereka menjawab, “Dia itu shalatnya di Masjidil Haram, di Mekah sana. Dia itu wali, jadi tidak seperti kita.”
Begitulah contoh-contoh persepsi tentang wali Allah: wali adalah makhluk aneh, tidak tersentuh oleh jangkauan manusia biasa, bisa dan boleh melakukan apa pun, dan boleh tidak melakukan ibadah.
Wali Allah menurut Islam
Wali (bentuknya jamaknya auliya) berasal dari bahasa Arab, makananya ‘orang yang dekat’, ‘orang yang membela’, atau ‘orang yang dicintai’. Dengan demikian, waliyullah atau wali Allah adalah orang yang dekat kepada Allah, membela agama Allah, dan mencintai serta dicintai Allah.
Manusia macam apa yang berpeluang menjadi wali Allah? Wali Allah ternyata bukan hanya disandang kalangan yang memiliki gelar terentu seperti ulama atau kiai. Allah Swt. menegaskan dalam ayat-Nya, “Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak akan merasakan takut dan tidak akan bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Q.S. Yunus [10]: 62-63)
Jadi, berdasarkan ayat tersebut, sesungguhnya wali bukanlah gelar bagi orang tertentu. Dan seseorang disebut wali bukanlah ditandai dengan kemampuannya menampilkan hal-hal ajaib seperti terbang atau berjalan di atas permukaan air, tidak pula dengan kemampuan mengubah butiran padi menjadi untaian emas. Wali adalah siapa pun yang beriman dan selalu bertakwa kepada Allah Swt. Entah dia memiliki kemampuan menampilkan hal-hal ajaib atau tidak. Itu bukan ukuran. Sebab, orang musyrik seperti penyihir, boleh jadi lebih punya kekuatan untuk menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilakukan orang lain.
Dari hadits itu juga kita dapat mengambil pelajaran bahwa ada dua peringkat kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt. Peringkat pertama, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan perkara-perkara wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang aku wajibkan kepadanya.” Al-Quran menyebutnya dengan istilah muqtashid (golongan pertengahan). Perhatikan ayat berikut ini. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.S. Faathir [35]: 32)
Peringkat kedua, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berusaha keras melaksanakan perkara-perkara sunah (nawafil), setelah melaksankan perkara-perkara yang diwajibkan (faraidh), dan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang makruh karena khawatir terjerembab ke dalam perbuatan haram. Dalam ayat di atas, orang semacam ini dikategorkan sabiqun bil-khairat (unggul dalam kebaikan).
Buah dari kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah adalah kedekatan Allah dan kecintaan-Nya kepada orang itu. Dan, “Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’”
Apa makna memusuhi?
Para ulama menyebutkan dua pemahaman terkait dengan penggalan akhir hadits itu. Pertama, Allah-lah penjaga pendengaran, pandangan, tangan, dan kaki orang itu agar tidak terjerembab ke dalam kemaksiatan. Kedua, keimanan dan ketakwaan seseorang akan mengantarkan dirinya pada muraqabatullah (kesadaran bahwa diri dipantau oleh Allah Swt.). Kesadaran inilah yang membuat seluruh anggota tubuh tidak bergerak dan bertindak selain dalam hal-hal dan dengan cara yang diridhai Allah Swt. Meminjam ungkapan ulama salaf (terdahulu), “Orang itu tidak pandai melakukan maksiat.” Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib–semoga Allah meridhai keduanya—pernah mengatakan, “Kami melihat setan (yang menguntit) Umar itu takut untuk menyuruhnya melakukan keburukan.”
Hal lain yang Allah jamin untuk orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya adalah, “Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.”
Sikap apa yang dapat kita terapkan dalam hidup kita dari hadits di atas?
Pertama, kita senantiasa mencintai dan tidak memusuhi orang-orang saleh, orang-orang yang Allah cintai. Berada pada urutan pertama dalam jajaran orang-orang yang wajib kita cintai adalah para nabi, terutama Nabi Muhammad Saw., selanjutnya adalah para sahabat Nabi Muhammad Saw. antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan semua sahabat Nabi–semoga Allah meridoi semuanya. Bentuk permusuhan kepada mereka, misalnya dengan cara mencaci maki, mengkafirkan, dan menganggap mereka murtad. Mengkafirkan dan mencaci para sahabat Nabi sama dengan mendustakan ayat-ayat Al-Quran yang telah memosisikan mereka pada tempat terhormat dan dicintai Allah Swt., misalnya dalam Surat Al-Taubah (9) ayat 40.
Kedua, kita selalu berusaha melaksanakan segala kewajiban yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan dan menghindari segala yang diharamkan. Selain itu, kita sebaiknya menyempurnakannya dengan melaksanakan amalan-amalan yang sunah.
Ketiga, jangan lupa untuk tidak bosan-bosan berdoa kepada Allah dan meminta perlindungan-Nya. Wallahu a’lam.