مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ
إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
(رواه البخاري ومسلم)
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling
mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu
anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan
berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain yang memiliki pesan sama adalah,
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا (رواه البخاري ومسلم)
“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan
satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Apa yang disabdakan Rasulullah saw. dengan dua hadis di atas melukiskan gambaran ideal umat Islam. Di masa Rasulullah saw. dan
generasi awal umat mukmin, keadaan itu merupakan realitas, bukan mimpi. Bila
kita merenungkan hadis-hadis di atas seraya membuka lembaran-lembaran sejarah
kehidupan assalafus-shalih (generasi terdahulu yang saleh), niscaya kita
akan menemukan kenyataan-kenyataan ini:
Pertama, kaum mukminin mewujud bagaikan tubuh manusia sempurna atau bangunan
kokoh. Segala kekuatan yang ada padanya semakin menambah kokohnya bangunan atau
tubuh itu. Layaknya tubuh yang sehat, setiap anggota tubuh itu memiliki
sensitivitas terhadap apa yang terjadi pada anggota tubuh lainnya.
Kedua, satu sama lain saling memelihara, saling menjaga, saling menguatkan, dan
saling mendukung, sehingga tercipta ikatan sosial yang solid.
Ketiga, semua bagian bangunan itu secara bersama-sama memelihara segala aset
kebaikan yang dimilikinya dan meninggalkan atau membuang hal-hal yang
merugikan. Aset-aset yang dimaksud, baik aset fisik-material seperti kekayaan
alam, maupun nonfisik, seperti tradisi gotong royong dan budaya malu.
Keempat, setiap bagian dari umat itu berada pada posisi masing-masing secara tepat
dan masing-masing
bekerja untuk mencari solusi bagi problem-problem yang
dihadapi dalam
kehidupan.
Sifat-sifat itu tergambar dalam kisah yang
dituturkan hadis berikut,
“Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw.
guna mengadukan perihal kemelaratan yang dideritanya, lalu ia pulang. Maka
Rasulullah saw. mengatakan kepadanya, ‘Pergilah hingga kamu mendapatkan sesuatu
(untuk dijual).’ Orang itu lalu pergi dan pulang lagi (menghadap Rasulullah
saw.) dengan membawa sehelai kain dan sebuah cangkir. Orang itu lalu
mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sebagian kain ini biasa digunakan keluarga saya
sebagai alas dan sebagiannya lagi sebagai penutup tubuh. Sedangkan cangkir ini
biasa mereka gunakan sebagai tempat minum.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa
yang mau membeli keduanya dengan harga satu dirham?’ Seorang laki-laki
menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. berkata lagi, ‘Siapa yang
mau membeli keduanya dengan harga lebih dari satu dirham.’ Seorang laki-laki
mengatakan, ‘Aku akan membelinya dengan harga dua dirham.’ Rasulullah saw.
berujar, ‘Kalau begitu kedua barang itu untuk kamu.’ Lalu Rasulullah saw.
memanggil orang (yang menjual barang) itu seraya mengatakan, ‘Belilah kapak
dengan satu dirham dan makanan untuk keluargamu dengan satu dirham. Orang itu
kemudian melaksakan perintah itu lalu datang lagi kepada Rasulullah saw. Maka
Rasulullah saw. memerintahkan kepadanya, ‘Pergilah ke lembah itu dan janganlah
kamu meninggalkan ranting atau duri atau kayu bakar. Dan janganlah kamu
menemuiku selama lima belas hari.’ Maka orang itu pun pergi dan mendapatkan
uang sepuluh dirham. Rasulullah saw. mengatakan, ‘Pergi dan belilah makanan
untuk keluargamu dengan uang lima dirham.’ Orang itu mengatakan, ‘Ya
Rasulullah, Allah telah memberikan barokah dalam apa yang kau perintahkan
kepadaku.’” (H.R. Baihaqi)
Hadis di atas melukiskan betapa setiap orang
berupaya untuk merasakan nasib saudaranya. Bukan itu saja. Mereka berupaya
mencarikan solusi. Solusinya pun bukanlah solusi yang mematikan keberdayaan
melainkan justru solusi yang juga sekaligus memberdayakan. Dan lebih menarik
lagi, Rasulullah saw. sebagai pimpinan tertinggi, terlibat langsung dalam upaya
perwujudan nilai-nilai kebersamaan dan kepaduan itu sekaligus merumuskan dan
mengeksekusi jalan keluarnya. Tentu saja kondisi umat Islam yang seperti itu bukan muncul dengan sendirinya. Masyarakat ideal dengan soliditas tinggi yang
ada di zaman Rasulullah saw. adalah hasil tempaan beliau dengan tarbiyah
robbaniyyah (pendidikan ala Allah swt.) dan dalam waktu yang bukan sebentar.
Dengan kualitas seperti itu, kita dapat melakukan banyak hal dan
mencapai banyak kesuksesan. Konspirasi yang selalu digalang oleh orang-orang
kafir juga tidak akan menemukan efektivitasnya manakala umat Islam dalam
kondisi solid bagaikan satu tubuh. Allah swt. berfirman,
وأطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا
فتفشلوا
وتذهب ريحكم واصبروا إن الله مع
الصابرين
“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian
bercerai-berai sebab kalian akan gagal dan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah
kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Al Anfal 8: 46)
Rasulullah saw. telah melakukan hal terbaik
untuk mewujudkan segala kebaikan pada umat ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan
untuk mengembalikan apa yang sudah dilakukan dan digariskan Rasulullah saw.
khususnya dalam hal mewujudkan kepaduan tubuh umat Islam? Sekadar urun rembuk
dari penulis, langkah-langkah berikut tampaknya perlu menjadi komitmen kita
bersama, terutama kalangan du'at (para juru dakwah):
Pertama,
menegaskan kembali pemahaman dan keyakinan kita bahwa Islam bukan agama individual.
Ajaran Islam menghendaki setiap orang menjadi orang yang beriman, bertakwa, dan
saleh. Namun itu saja tidak cukup, harus ada kesalehan kolektif. Salah satu
indikator kesalehan kolektif adalah adanya perhatian dan kepedulian terhadap
nasib sesama muslim. Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (الطبراني)
“Barangsiapa tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak
termasuk golongan mereka.” (H.R. Ath-Thabrani)
Kebersamaan dalam iman dan ketakwaan ini juga berperan
besar dalam menumbuhkan ketahanan dan kesabaran, sesuatu yang amat dibutuhkan
dalam kancah pertarungan. Allah swt. berfirman,
واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
“Dan bersabarlah dirimu
bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan
mengharapkan rido-Nya.” (Q.S. Al Kahfi 18: 28).
Kedua, karenanya setiap kita harus terus memotivasi diri untuk mensalehkan diri sendiri dan berusaha mensalehkan orang
lain. Dia harus terbiasa melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar
(memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang buruk). Dan sikap itu
merupakan karakter dasar mukmin sejati. Allah swt. menggambarkan hal itu,
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة
ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسول
أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم
“Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah
menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan
mencegah dari yang buruk, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah 9: 71)
Tanggung jawab paling minimal seorang mukmin dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar
adalah terhadap keluarga. Oleh karena itu, seorang mukmin harus
memiliki
perencanaan sejak pernikahan, dari mulai memilih calon pendamping hidup. Tentang kewajiban ini Allah
berfirman,
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة
غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
“Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim 66: 6)
Ketiga, mengarahkan loyalitas dan pembelaan hanya kepada
Allah, Rasulullah saw., dan kepada sesama mukmin, bukan kepada figur.
Lebih-lebih bila figur itu adalah sosok yang menawarkan penyimpangan dari
aqidah Islam. Adalah bencana besar bila dakwah melahirkan loyalitas (wala)
kepada figur tertentu, diri sang da'i, misalnya. Sebab loyalitas kepada figur
merupakan celah yang menganga lebar bagi munculnya sikap kultus. Bangsa
Indonesia telah dibuat sengsara oleh perilaku kultus itu. Karena kultus mengarahkan pada
sikap, “Tidak ada kebenaran selain yang datang dari figur
tersebut”.
Kesetiaan utama seorang muslim adalah kepada Allah, Rasulullah saw., dan
kaum mukminin. Allah dan Rasul-Nyalah yang dijadikan sebagai sumber kebenaran.
Dan Allah dan Rasul-Nya pula yang menjadi muara kesetiaan dan kecintaan. Oleh
karena itu, loyalitas dan kesetiaan mukmin hanya akan diberikan kepada sesama
mukmin
selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman-Nya,
إنما وليكم
الله ورسوله والذين آمنوا الذين
يقيمون الصلاة
ويؤتون الزكاة وهم راكعون
“Wali (pemimpin, kekasih, penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang beriman yang mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).” (Q.S. Al Maidah 5: 55)
Tanpa loyalitas yang benar, seperti disebutkan dalam ayat di atas, orang
bisa tersinggung dan marah karena tokoh idolanya dikoreksi, dikritik, atau
diprotes. Tapi tidak terusik kalbu dan perasannya manakala Islam dihujat, hukum
Islam diinjak-injak, Rasulullah saw. dihina, dan umat Islam dibantai.
Keempat, untuk menunjang upaya di atas, kita –terutama para da'i— hendaknya mampu menonjolkan persamaan-persamaan, bukan sebaliknya:
mengekspos perbedaan-perbedaan. Disadari bahwa ada banyak perbedaan di kalangan
umat Islam. Namun bukanlah sikap bijak untuk menggelembungkan
perbedaan-perbedaan itu melebihi porsinya.
Tentu berbeda halnya jika perbedaan itu menyangkut masalah yang asasi,
seperti masalah aqidah atau masalah-masalah yang telah menjadi ijma' ulama.
Contoh untuk yang terakhir adalah perbedaan dalam menyikapi komunisme,
zionisme, atau pemurtadan. Ini masalah prinsipil, baik dari segi aqidah
maupun dari tinjauan historis. Al Quran telah dengan tegas memberikan informasi
kepada kita bahwa Yahudi adalah musuh yang selalu membuat makar dan memendam
kedengkian dan kebencian kepada kaum muslimin. Dalam hal-hal yang dianggap
perbedaan "tidak prinsipil", tentu bukan pula berarti pintu telah tertutup bagi pembahasan dan kajian. Dengan syarat, hal itu dilakukan secara ilmiah dan hati dingin. Bukan mencari
kemenangan dan mengumbar kebencian serta permusuhan.
Dan kelima, para da'i dituntut mampu atau paling tidak berusaha
menggali, menumbuhkan, memelihara, mengarahkan, lalu merekat dan merakit
potensi umat itu. Umat sesungguhnya memiliki banyak potensi. Permasalahan yang menghadang
adalah pemberdayaan potensi tersebut. Dan gerakan dakwah sesungguhnya adalah
yang paling bertanggung jawab untuk tugas itu.
Memang,
membangun kembali kaum mukminin agar menjadi seperti satu tubuh bukanlah hal
enteng, tapi juga bukan hal mustahil. Kalaupun masing-masing kita belum mampu
menyelesaikan masalah, paling tidak janganlah menjadi pembuat atau penambah
masalah. Wallahu a’lam