Kamis, 06 November 2014

Opiniku : Poligami




Oleh : Hj. Tia Pistia Siti Shalihah binti Amar Sahid*

Poligami adalah HALAL! Karena Allah swt. telah menerangkannya di dalam Surat An-Nisa (4) ayat 3. Tentu saja, hal-hal yang sudah dihalalkan oleh Allah swt. tidak boleh menjadi haram. Begitu juga sebaliknya, yang haram menurut Allah swt. akan tetap haram, tidak boleh menjadi halal hanya karena kainginan manusia.
Hanya perlu kita perhatikan, ada catatan tambahan dalam ayat tersebut, “Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, kawini seorang saja.
Tertangkap oleh pikiran hamba Allah yang bodoh ini bahwa untuk berpoligami seseorang harus adil, tidak boleh ada salah satu istri yang merasa dizalimi.
Untuk niat berpoligami harus ikhlas rido karena Allah swt., baik dari pihak sang suami yang berpoligami, maupun pihak istri yang dipoligami. Sehingga dengan pijakan itu, akan didapat perkawinan ISLAMI yang penuh barokah, sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, nyatanya di zaman sekarang ini, untuk menjalani perkawinan sistem poligami sebagaimana kekasih kita Rasulullah saw. menjalankannya, terasa amat sulit apalagi dengan bekal ilmu yang alakadarnya. Jadi, semua dikembalikan lagi kepada kita, POLIGAMI OK! Tapi sanggupkah kita? Karena segala langkah yang kita ambil pasti akan ada perhitungannya kelak ketika kita pulang ke akhirat.
Dalam hal ini karena pihak suami sebagai pelaku, kelak yang akan dimintai pertanggungjawabannya adalah dia. Maka sebelum melakukan poligami, akan lebih afdol bermuhasabah dahulu, berkaca diri, “Sudah cukupkah bekalku secara keimanan?” “Sudah cukupkah bekal istri dan anak-anakku memahami poligami?”
Banyak yang harus dipersiapkan sebelum melakukan poligami, di antara sebagian kecilnya adalah sebagai berikut.

1.            Dari suami secara pribadi dan keimanan. Seorang suami yang berpoligami harus mempunyai pribadi yang tegas, berwibawa, dan penuh kasih sayang sehingga ia bisa mendidik dan menggalang kerukunan para istri dan anak-anaknya. Keimanannya kepada Allah swt. dan hari akhir pun harus mantap sehingga apa pun langkah yang akan diambil, semua penuh dengan perhitungan, penuh dengan rasa takut akan azab hari akhir, serta penuh dengan rasa mengharap rido Allah swt.
2.            Yang pasti adalah financial. Memang, Allah swt. Maha Pemberi Rezeki, tetapi sungguh manusia mempunyai banyak keterbatasan. Apabila Allah swt. memang memberikan untuknya rezeki yang untuk satu istri saja mepet, ya berpuasalah untuk menahan syahwat. Sungguh, agama Islam yang indah ini hanya untuk orang-orang yang mau berpikir.
3.            Persiapkan iman, mental, ilmu, istri, dan anak-anak. Jangan sampai ada perceraian. Jika semua dilakukan bukan atas dasar niat Lillahi ta’ala bisa-bisa anak istri menjadi korban. Umumnya, yang menjadi korban adalah istri pertama beserta anak-anaknya. Karenanya tak salah jika Allah swt. memberikan pahala surga untuk istri pertama yang ikhlas karena Allah swt. untuk dipoligami karena perjuangannya yang begitu hebat.

At least, kalau sudah merasa mampu untuk memenuhi persyaratan di atas: (1) iman dan kepribadian; (2) rezeki lebih dari cukup; dan (3) anak istri saleh, why not? Let’s do it! Semoga Allah swt. memberikan bimbingan-Nya kepada kita.
Intinya bahwa semua pernikahan adalah ibadah. Poligami bukanlah semata-mata pemuas syahwat dan semua harus dalam rangka mencari rido Allah swt. Wallahu a’lam

*) Pendapat penulis pribadi dengan segala keterbatasan ilmu, semoga Allah swt. mengampuni segala kekurangan.

Selasa, 16 September 2014

Memperkuat Tubuh Ummat Islam





مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ  فِيْ تَرَاحُمِهِمْ  وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ
إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
(رواه البخاري ومسلم)
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain yang memiliki pesan sama adalah,

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخاري ومسلم)
Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Apa yang disabdakan Rasulullah saw. dengan dua hadis di atas melukiskan gambaran ideal umat Islam. Di masa Rasulullah saw. dan generasi awal umat mukmin, keadaan itu merupakan realitas, bukan mimpi. Bila kita merenungkan hadis-hadis di atas seraya membuka lembaran-lembaran sejarah kehidupan assalafus-shalih (generasi terdahulu yang saleh), niscaya kita akan menemukan kenyataan-kenyataan ini:
Pertama, kaum mukminin mewujud bagaikan tubuh manusia sempurna atau bangunan kokoh. Segala kekuatan yang ada padanya semakin menambah kokohnya bangunan atau tubuh itu. Layaknya tubuh yang sehat, setiap anggota tubuh itu memiliki sensitivitas terhadap apa yang terjadi pada anggota tubuh lainnya.
Kedua, satu sama lain saling memelihara, saling menjaga, saling menguatkan, dan saling mendukung, sehingga tercipta ikatan sosial yang solid.
Ketiga, semua bagian bangunan itu secara bersama-sama memelihara segala aset kebaikan yang dimilikinya dan meninggalkan atau membuang hal-hal yang merugikan. Aset-aset yang dimaksud, baik aset fisik-material seperti kekayaan alam, maupun nonfisik, seperti tradisi gotong royong dan budaya malu.
Keempat, setiap bagian dari umat itu berada pada posisi masing-masing secara tepat dan masing-masing bekerja untuk mencari solusi bagi problem-problem yang dihadapi dalam kehidupan.
Sifat-sifat itu tergambar dalam kisah yang dituturkan hadis berikut,
Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. guna mengadukan perihal kemelaratan yang dideritanya, lalu ia pulang. Maka Rasulullah saw. mengatakan kepadanya, ‘Pergilah hingga kamu mendapatkan sesuatu (untuk dijual).’ Orang itu lalu pergi dan pulang lagi (menghadap Rasulullah saw.) dengan membawa sehelai kain dan sebuah cangkir. Orang itu lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sebagian kain ini biasa digunakan keluarga saya sebagai alas dan sebagiannya lagi sebagai penutup tubuh. Sedangkan cangkir ini biasa mereka gunakan sebagai tempat minum.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga satu dirham?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. berkata lagi, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga lebih dari satu dirham.’ Seorang laki-laki mengatakan, ‘Aku akan membelinya dengan harga dua dirham.’ Rasulullah saw. berujar, ‘Kalau begitu kedua barang itu untuk kamu.’ Lalu Rasulullah saw. memanggil orang (yang menjual barang) itu seraya mengatakan, ‘Belilah kapak dengan satu dirham dan makanan untuk keluargamu dengan satu dirham. Orang itu kemudian melaksakan perintah itu lalu datang lagi kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. memerintahkan kepadanya, ‘Pergilah ke lembah itu dan janganlah kamu meninggalkan ranting atau duri atau kayu bakar. Dan janganlah kamu menemuiku selama lima belas hari.’ Maka orang itu pun pergi dan mendapatkan uang sepuluh dirham. Rasulullah saw. mengatakan, ‘Pergi dan belilah makanan untuk keluargamu dengan uang lima dirham.’ Orang itu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Allah telah memberikan barokah dalam apa yang kau perintahkan kepadaku.’” (H.R. Baihaqi)

Hadis di atas melukiskan betapa setiap orang berupaya untuk merasakan nasib saudaranya. Bukan itu saja. Mereka berupaya mencarikan solusi. Solusinya pun bukanlah solusi yang mematikan keberdayaan melainkan justru solusi yang juga sekaligus memberdayakan. Dan lebih menarik lagi, Rasulullah saw. sebagai pimpinan tertinggi, terlibat langsung dalam upaya perwujudan nilai-nilai kebersamaan dan kepaduan itu sekaligus merumuskan dan mengeksekusi jalan keluarnya. Tentu saja kondisi umat Islam yang seperti itu bukan muncul dengan sendirinya. Masyarakat ideal dengan soliditas tinggi yang ada di zaman Rasulullah saw. adalah hasil tempaan beliau dengan tarbiyah robbaniyyah (pendidikan ala Allah swt.) dan dalam waktu yang bukan sebentar.
Dengan kualitas seperti itu, kita dapat melakukan banyak hal dan mencapai banyak kesuksesan. Konspirasi yang selalu digalang oleh orang-orang kafir juga tidak akan menemukan efektivitasnya manakala umat Islam dalam kondisi solid bagaikan satu tubuh. Allah swt. berfirman,

وأطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا
وتذهب ريحكم واصبروا إن الله مع الصابرين

Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian bercerai-berai sebab kalian akan gagal dan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Al Anfal 8: 46)

Rasulullah saw. telah melakukan hal terbaik untuk mewujudkan segala kebaikan pada umat ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan apa yang sudah dilakukan dan digariskan Rasulullah saw. khususnya dalam hal mewujudkan kepaduan tubuh umat Islam? Sekadar urun rembuk dari penulis, langkah-langkah berikut tampaknya perlu menjadi komitmen kita bersama, terutama kalangan du'at (para juru dakwah):

Pertama, menegaskan kembali pemahaman dan keyakinan kita bahwa Islam bukan agama individual. Ajaran Islam menghendaki setiap orang menjadi orang yang beriman, bertakwa, dan saleh. Namun itu saja tidak cukup, harus ada kesalehan kolektif. Salah satu indikator kesalehan kolektif adalah adanya perhatian dan kepedulian terhadap nasib sesama muslim. Rasulullah saw.  bersabda,
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (الطبراني)
Barangsiapa tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka. (H.R. Ath-Thabrani)
Kebersamaan dalam iman dan ketakwaan ini juga berperan besar dalam menumbuhkan ketahanan dan kesabaran, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam kancah pertarungan. Allah swt. berfirman,
واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan rido-Nya.” (Q.S. Al Kahfi 18: 28).
Kedua, karenanya setiap kita harus terus memotivasi diri untuk mensalehkan diri sendiri dan berusaha mensalehkan orang lain. Dia harus terbiasa melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar (memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang buruk). Dan sikap itu merupakan karakter dasar mukmin sejati. Allah swt. menggambarkan hal itu,

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة
ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسول
أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم

Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan mencegah dari yang buruk, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah 9: 71)

Tanggung jawab paling minimal seorang mukmin dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah terhadap keluarga. Oleh karena itu, seorang mukmin harus memiliki perencanaan sejak pernikahan, dari mulai memilih calon pendamping hidup. Tentang kewajiban ini Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة
غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون

Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim 66: 6)

Ketiga, mengarahkan loyalitas dan pembelaan hanya kepada Allah, Rasulullah saw., dan kepada sesama mukmin, bukan kepada figur. Lebih-lebih bila figur itu adalah sosok yang menawarkan penyimpangan dari aqidah Islam. Adalah bencana besar bila dakwah melahirkan loyalitas (wala) kepada figur tertentu, diri sang da'i, misalnya. Sebab loyalitas kepada figur merupakan celah yang menganga lebar bagi munculnya sikap kultus. Bangsa Indonesia telah dibuat sengsara oleh perilaku kultus itu. Karena kultus mengarahkan pada sikap, “Tidak ada kebenaran selain yang datang dari figur tersebut”.

Kesetiaan utama seorang muslim adalah kepada Allah, Rasulullah saw., dan kaum mukminin. Allah dan Rasul-Nyalah yang dijadikan sebagai sumber kebenaran. Dan Allah dan Rasul-Nya pula yang menjadi muara kesetiaan dan kecintaan. Oleh karena itu, loyalitas dan kesetiaan mukmin hanya akan diberikan kepada sesama mukmin selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman-Nya,

إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين
يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون

Wali (pemimpin, kekasih, penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S. Al Maidah 5: 55)

Tanpa loyalitas yang benar, seperti disebutkan dalam ayat di atas, orang bisa tersinggung dan marah karena tokoh idolanya dikoreksi, dikritik, atau diprotes. Tapi tidak terusik kalbu dan perasannya manakala Islam dihujat, hukum Islam diinjak-injak, Rasulullah saw. dihina, dan umat Islam dibantai.

Keempat, untuk menunjang upaya di atas, kita –terutama para da'i— hendaknya mampu menonjolkan persamaan-persamaan, bukan sebaliknya: mengekspos perbedaan-perbedaan. Disadari bahwa ada banyak perbedaan di kalangan umat Islam. Namun bukanlah sikap bijak untuk menggelembungkan perbedaan-perbedaan itu melebihi porsinya.

Tentu berbeda halnya jika perbedaan itu menyangkut masalah yang asasi, seperti masalah aqidah atau masalah-masalah yang telah menjadi ijma' ulama. Contoh untuk yang terakhir adalah perbedaan dalam menyikapi komunisme, zionisme, atau pemurtadan. Ini masalah prinsipil, baik dari segi aqidah maupun dari tinjauan historis. Al Quran telah dengan tegas memberikan informasi kepada kita bahwa Yahudi adalah musuh yang selalu membuat makar dan memendam kedengkian dan kebencian kepada kaum muslimin. Dalam hal-hal yang dianggap perbedaan "tidak prinsipil", tentu bukan pula berarti pintu telah tertutup bagi pembahasan dan kajian. Dengan syarat, hal itu dilakukan secara ilmiah dan hati dingin. Bukan mencari kemenangan dan mengumbar kebencian serta permusuhan.

Dan kelima, para da'i dituntut mampu atau paling tidak berusaha menggali, menumbuhkan, memelihara, mengarahkan, lalu merekat dan merakit potensi umat itu. Umat sesungguhnya memiliki banyak potensi. Permasalahan yang menghadang adalah pemberdayaan potensi tersebut. Dan gerakan dakwah sesungguhnya adalah yang paling bertanggung jawab untuk tugas itu.
Memang, membangun kembali kaum mukminin agar menjadi seperti satu tubuh bukanlah hal enteng, tapi juga bukan hal mustahil. Kalaupun masing-masing kita belum mampu menyelesaikan masalah, paling tidak janganlah menjadi pembuat atau penambah masalah. Wallahu a’lam