Senin, 23 November 2015

Siapakah yang Disebut Wali Allah?



Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, ‘Siapa yang memusuhi wali (kekasih)-ku maka aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’” (H.R. Bukhari)

Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari itu merupakan hadits qudsi. Yakni firman Allah yang disampaikan dengan redaksi dari Rasulullah Saw. Hadits itu memberikan peringatan keras agar kita tidak memusuhi wali (orang dicintai) Allah. Kepada orang yang memusuhi atau menyakiti wali Allah itu, Dia menyatakan perang. Artinya, Allah sangat tidak suka dan memusuhi orang yang memusuhi kekasih-Nya.

Namun, siapakah yang disebut wali (kekasih) Allah itu? Kita amat perlu mendapat kejelasan tentang orang macam apa yang disebut wali Allah itu. Sejauh ini –di negeri kita tercinta Indonesia—para wali Allah dilukiskan sebagai sosok orang sakti. Tengok saja misalnya penggambaran para wali dalam film-film atau sinetron-sinetron. Wali sering dilukiskan sebagai sosok dengan pakaian jubah putih lusuh; rambut, jenggot, dan kumis panjang seperti tak terurus; punya kesaktian seperti terbang melayang di udara atau berjalan di atas air. Tidak ketinggalan tongkat dan tasbih yang selalu dibawa ke mana pun pergi. Dia tidak punya kecenderungan, bahkan sekadar peduli dengan urusan dunia. Apa pekerjaannya? Bertapa dan mengisolasi diri dari kehidupan.

Bahkan, ada wali –yang dilukiskan dalam sebuah film- melakukan pertapaan di sebuah hutan, di tepi sungai entah berbilang bulan entah tahun, yang jelas sampai seluruh tubuhnya diselimuti lumut hijau dan menjadi tempat bertenggernya burung-burung yang lewat di sana. Maasyaa Allah! Lalu, bagaimana dengan shalatnya, dengan ibadah-ibadah lainnya?

Itu memang film. Di dunia nyata, persepsi tentang wali Allah tidak kalah anehnya. Ada seseorang yang dianggap ulama. Pada suatu hari dia menjadi narasumber dalam sebuah seminar. Ada seorang peserta seminar yang jeli, memperhatikan ternyata sang narasumber tadi tidak melakukan shalat. Zhuhur lewat. Ia pikir mungkin akan dijama’ dengan shalat Ashar. Tetapi Ashar pun lewat dan Ia tidak juga terlihat melakukan shalat hingga maghrib tiba. Ketika orang itu menyampaikan rasa penasarannya kepada orang yang dianggap punya hubungan baik dengan sang kiai, ia malah menjawab, “Lha, dia itu wali! Jadi sudah tidak perlu shalat seperti kita!” Ketika sang penanya mendebat, pembela kiai itu mengeluarkan kata pamungkas, “Sudahlah, ilmu kamu itu belum sampai...” Dan karenanya, dia tidak pernah bersalah dan tidak boleh dianggap salah.

Ada lagi sebuah kisah. Di sebuah pesantren ada seorang kiai yang menjadi pimpinan di sana. Saat para santri dan masyarakat shalat berjamaah, sang kiai tidak pernah terlihat ikut shalat. Padahal, dia tidak pernah pergi meninggalkan pesantrennya. Ketika hal itu ditanyakan kepada orang-orang terdekatnya, mereka menjawab, “Dia itu shalatnya di Masjidil Haram, di Mekah sana. Dia itu wali, jadi tidak seperti kita.” 

Begitulah contoh-contoh persepsi tentang wali Allah: wali adalah makhluk aneh, tidak tersentuh oleh jangkauan manusia biasa, bisa dan boleh melakukan apa pun, dan boleh tidak melakukan ibadah.

Wali Allah menurut Islam
Wali (bentuknya jamaknya auliya) berasal dari bahasa Arab, makananya ‘orang yang dekat’, ‘orang yang membela’, atau ‘orang yang dicintai’.  Dengan demikian, waliyullah atau wali Allah adalah orang yang dekat kepada Allah, membela agama Allah, dan mencintai serta dicintai Allah.

Manusia macam apa yang berpeluang menjadi wali Allah? Wali Allah ternyata bukan hanya disandang kalangan yang memiliki gelar terentu seperti ulama atau kiai. Allah Swt. menegaskan dalam ayat-Nya, “Ingatlah, sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak akan merasakan takut dan tidak akan bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Q.S. Yunus [10]: 62-63)

Jadi, berdasarkan ayat tersebut, sesungguhnya wali bukanlah gelar bagi orang tertentu. Dan seseorang disebut wali bukanlah ditandai dengan kemampuannya menampilkan hal-hal ajaib seperti terbang atau berjalan di atas permukaan air, tidak pula dengan kemampuan mengubah butiran padi menjadi untaian emas. Wali adalah siapa pun yang beriman dan selalu bertakwa kepada Allah Swt. Entah dia memiliki kemampuan menampilkan hal-hal ajaib atau tidak. Itu bukan ukuran. Sebab, orang musyrik seperti penyihir, boleh jadi lebih punya kekuatan untuk menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilakukan orang lain.

Dari hadits itu juga kita dapat mengambil pelajaran bahwa ada dua peringkat kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt. Peringkat pertama, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan perkara-perkara wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain dari apa yang aku wajibkan kepadanya.” Al-Quran menyebutnya dengan istilah muqtashid (golongan pertengahan). Perhatikan ayat berikut ini. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.S. Faathir [35]: 32)

Peringkat kedua, orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berusaha keras melaksanakan perkara-perkara sunah (nawafil), setelah melaksankan perkara-perkara yang diwajibkan (faraidh), dan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang makruh karena khawatir terjerembab ke dalam perbuatan haram. Dalam ayat di atas, orang semacam ini dikategorkan sabiqun bil-khairat (unggul dalam kebaikan).

Buah dari kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah adalah kedekatan Allah dan kecintaan-Nya kepada orang itu. Dan, “Jika Aku mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengannya ia memandang, Akulah tangannya yang dengannya ia bertindak, dan Akulah kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’”

Apa makna memusuhi?
Para ulama menyebutkan dua pemahaman terkait dengan penggalan akhir hadits itu. Pertama, Allah-lah penjaga pendengaran, pandangan, tangan, dan kaki orang itu agar tidak terjerembab ke dalam kemaksiatan. Kedua, keimanan dan ketakwaan seseorang akan mengantarkan dirinya pada muraqabatullah (kesadaran bahwa diri dipantau oleh Allah Swt.). Kesadaran inilah yang membuat seluruh anggota tubuh tidak bergerak dan bertindak selain dalam hal-hal dan dengan cara yang diridhai Allah Swt. Meminjam ungkapan ulama salaf (terdahulu), “Orang itu tidak pandai melakukan maksiat.” Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib–semoga Allah meridhai keduanya—pernah mengatakan, “Kami melihat setan (yang menguntit) Umar itu takut untuk menyuruhnya melakukan keburukan.”

Hal lain yang Allah jamin untuk orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya adalah, “Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.”

Sikap apa yang dapat kita terapkan dalam hidup kita dari hadits di atas?
Pertama, kita senantiasa mencintai dan tidak memusuhi orang-orang saleh, orang-orang yang Allah cintai. Berada pada urutan pertama dalam jajaran orang-orang yang wajib kita cintai adalah para nabi, terutama Nabi Muhammad Saw., selanjutnya adalah para sahabat Nabi Muhammad Saw. antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan semua sahabat Nabi–semoga Allah meridoi semuanya. Bentuk permusuhan kepada mereka, misalnya dengan cara mencaci maki, mengkafirkan, dan menganggap mereka murtad. Mengkafirkan dan mencaci para sahabat Nabi sama dengan mendustakan ayat-ayat Al-Quran yang telah memosisikan mereka pada tempat terhormat dan dicintai Allah Swt., misalnya dalam Surat Al-Taubah (9) ayat 40.

Kedua, kita selalu berusaha melaksanakan segala kewajiban yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan dan menghindari segala yang diharamkan. Selain itu, kita sebaiknya menyempurnakannya dengan melaksanakan amalan-amalan yang sunah.

Ketiga, jangan lupa untuk tidak bosan-bosan berdoa kepada Allah dan meminta perlindungan-Nya. Wallahu a’lam.

Shalat, Kunci Sukses Dunia dan Akhirat

Kesuksesan hidup seorang muslim ditentukan oleh amalan shalatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dari Anas bin Malik r.a., amalan yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah shalat. Kemudian Rasul pun menegaskan, apabila baik shalat seorang muslim, maka baiklah seluruh amalnya. Demikian pula sebaliknya, apabila jelek ibadah shalatnya, maka buruklah seluruh amal kebaikannya.

    Demikian dahsyat pengaruh shalat dalam menilai amalan kita selama hidup. Bahkan dalam Al Quran Allah Swt. menempatkan shalat sebagai syarat kemenangan kaum mukminin. Firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu dalam shalatnya” (QS. Al Mukminuun [23]: 1-2).

    Betapa indahnya shalat. Ia merupakan hiburan yang sangat mengasyikan bagi setiap mukmin. Rasulullah Saw. pun demikian, sehingga beliau bersabda, “kegembiraanku yang luar biasa dijadikan Allah dalam shalat”. Maka tidak aneh jika masuk waktu shalat Nabi Saw. berkata kepada Bilal, Muadzinnya, “Wahai Bilal, marilah kita istirahat dengan-Nya.”

    Ternyata shalat merupakan istirahat jiwa yang paling utama. Huzaifah r.a. berkata, “Setiap kali Nabi Saw. mengalami kesulitan beliau melakukan shalat” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Abu Ja’far juga berkomentar, “Seandainya engkau merasakan manis dan lezatnya Allahu Akbar, niscaya engkau tidak akan mengolok-olok kepayahan orang yang memperbanyak shalat.” Seorang tabiin yang shaleh, Hamamah Al-Abid pernah ditanya orang, “Apa amalmu yang paling utama yang dapat engkau harapkan di sisi Allah?” dia menjawab, “Tidak datang kepadaku suatu shalat kecuali aku telah siap dan rindu kepada-Nya.”

    Bagi seorang mukmin, ibadah shalat tidak dirasakan sebagai sebuah kewajiban, tetapi merupakan hiburan yang mengasyikan. Shalat adalah tingkat dzikir tertinggi (QS. Thaha [20] : 14) dan shalat pun mencegah seorang terjerumus dalam kekejian dan kemungkaran (QS. Al Ankabut [29] : 45). Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka sebenarnya dia tidak shalat.” (HR. Thabrani).

    Shalat bukan hanya ritual belaka. Shalat merupakan pengukuhan diri sebagai hamba Allah yang senantiasa merindukan-Nya. Oleh karena itu, celakalah orang yang shalatnya lalai, jauh dari kekhusyuan. Apalagi shalatnya menjadi riya, maka Allah akan menjanjikan neraka bagi pelaku shalat seperti ini. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria.” (Al Maa’uun [107]:4-6).

    Luar biasanya pengaruh shalat hanya akan dirasakan oleh orang yang mendirikan shalat. Mendirikan shalat berarti mengaplikasikan makna shalat dalam seluruh aspek kehidupannya. Taraf shalat seperti ini hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang khusyu. Kekhusyuan inilah yang menebar pengaruh positif shalat dalam kehidupan.

    Kekhusyuan dalam shalat bukan kita yang menciptakan. Kekhusyuan akan kita terima dengan sendirinya jika kita sudah menjadikan shalat sebagai kebutuhan. Perasaan khusyu tidak mungkin kita peroleh jika tidak memiliki kesadaran dan kepercayaan, pada saat shalat kita sedang berhadapan dengan Allah. Orang yang yakin sepenuh hati pada kebesaran Allah, yakin akan Kemahakuasaan-Nya, ikhlas untuk tunduk dan patuh pada-Nya, serta selalu merindukan-Nya, insya Allah mudah untuk menggapai kekhusyuan.

    Shalat yang khusyu akan mendatangkan pahala besar dari Allah Swt. Sebagaimana dalam (Q.S. Al-Mu’minun : 1-9) diterangkan, orang yang khusyuk dan memelihara shalatnya akan mewarisi surga Firdaus. Menurut Ustadz Kholil al Harbi, Imam dan ulama di Masjid Madinah, khusyuk adalah rohnya shalat. Allah Swt. menjanjikan kemenangan di dunia dan di akherat bagi orang-orang yang shalatnya khusyuk. Ingin sukses di dunia dan akhirat? Shalatlah dengan khusyuk.

Uckay Subqy

Sabtu, 21 November 2015

Memahami Sifat Marah

“Like other emotions, anger is accompanied by physiological and biological changes; when you get angry, your heart rate and blood pressure go up, as do the levels of your energy hormones, adrenaline, and noradrenaline.” 

Seperti bentuk emosi lainnya, marah juga diikuti dengan perubahan psikologis dan biologis. Ketika Anda marah, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, begitu juga dengan level hormon, adrenaline, dan noradrenaline.

Demikian ungkapan Charles Spielberger, Ph.D., seorang ahli psikologi yang mengambil spesialisasi studi tentang marah. Dari pendapatnya tersebut, dapat kita perhatikan bahwa sesungguhnya ketika kita marah, ada banyak hal yang terjadi pada diri kita yang mungkin tidak pernah kita perhatikan dan telaah lebih jauh. Ketika marah, secara psikologis dan biologis diri kita mengalami perubahan yang cukup signifikan, bahkan drastis, dibandingkan dengan keadaan ketika kita tidak marah.

Marah adalah suatu perilaku yang normal dan sehat, sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi manusia. Namun, ketika marah tidak terkendali dan cenderung menuju arah destruktif, marah akan menjadi masalah. Masalah tersebut bisa timbul di lingkungan pekerjaan –dalam hubungan antarpersonal— dan yang lebih luas lagi adalah dalam kualitas hidup pribadi secara keseluruhan.

Selain sebagai bentuk ekspresi emosi, marah juga merupakan satu bentuk komunikasi. Adakalanya orang lain baru mengerti maksud yang ingin kita sampaikan ketika kita marah. Tanpa marah, orang lain malah menganggap kita main-main atau tidak serius. Dalam hal ini, tentunya juga berkaitan dengan masalah budaya. Dalam budaya masyarakat tertentu, suatu bentuk ekspresi seseorang akan dianggap sebagai bentuk ekspresi marah sedangkan dalam budaya masyarakat lain dianggap biasa-biasa saja, salah satu contoh konkretnya adalah logat bahasa.

Contoh lainnya adalah dalam pertandingan sepak bola. Tak jarang kita lihat ada pemain yang bersitegang, terutama apabila terjadi pelanggaran. Ketika bersitegang, sikap yang ditunjukkan para pemain Eropa akan berbeda dengan sikap yang diperlihatkan para pemain Indonesia. Dalam kebanyakan pertandingan Liga Eropa yang kita saksikan di televisi, apabila pemain saling bersitegang, mereka beradu mulut dan bahkan saling berhadapan. Mata melotot dan urat-urat leher pun tampak menjadi tegang. Namun, setelah melampiaskan kekesalan dan amarah masing-masing, mereka pun bisa segera melanjutkan pertandingan dengan baik. Adapun di Indonesia, tak jarang kita menyaksikan persitegangan antara dua pemain, namun merembet pada pemain lain sehingga menyebabkan perkelahian massal antarpemain.

Marah ternyata bisa ditinjau dari berbagai aspek, termasuk juga dari aspek agama. Dalam ajaran Islam, ada beberapa ayat dan hadis Nabi yang menjelaskan tentang marah. Dalam penjelasan-penjelasan tersebut disebutkan bahwa alangkah lebih baiknya apabila kita bisa menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Namun, hal ini juga tidak berarti bahwa kita tidak boleh marah, sebab Nabi juga pernah marah dan marah dalam batas-batas tertentu justru bisa membawa dampak positif bagi manusia.

Anger is a completely normal, usually healthy, human emotion. But when it gets out of control and turns destructive, it can lead to problems. 

Agung

Saat Marah, Tubuh Mengeluarkan Hormon yang Merusak



Wawancara dengan Dr. Jaya Mualimin
Psikiater dan Resimen bagian Psikiatri RS Hasan Sadikin Bandung

Apa sebenarnya marah itu?
Dalam ilmu psikiatri, marah digolongkan sebagai bentuk symptom atau gejala atas adanya suatu penyakit dalam tubuh. Gejala-gejala tersebut antara lain digolongkan ke dalam agresif, impulsif, halusinasi, dan waham (suatu keyakinan salah yang mendarah daging pada diri seseorang). Marah digolongkan ke dalam jenis gejala agresi yang positif karena terdapat banyak neurotransmitter (perantara jalannya impuls di tubuh) pada saat marah dan juga karena seorang yang marah menjadi aktif, mengeluarkan energi, dan mengekspresikan perasaannya. Bukan gejala yang negatif seperti depresi yang cenderung menjadi pasif. Dan pada semua penyakit gangguan jiwa, terlebih yang berat, marah itu selalu ada. Terutama pada para lansia.

Jadi, marah itu sesuatu yang tidak bagus?
Marah cenderung merusak, walaupun secara fitrahnya, marah adalah sesuatu yang lumrah. Sebenarnya, marah juga ada manfaatnya. Allah saja bisa murka. Nabi pun bisa marah, seperti kepada sahabat yang tidak ikut perang. Marah yang dibingkai dengan syariah dan sunah berlangsung sebentar dan tidak berkelanjutan. Kalau marah yang berkelanjutan, akan merusak tubuh karena hormon yang bekerja dalam tubuh akan meningkat terus. Marah dengan reaksi wajarlah yang dikategorikan marah yang positif.

Kalau begitu, apa saja penyebab marah?
Marah disebabkan adanya impuls, ada yang eksternal maupun internal. Eksternal seperti dari lingkungan yang tidak kondusif dan keras dan makanan yang berprotein tinggi. Internal dari faktor hormonal dan kadar oksigen yang rendah. Impuls ini akan meningkatkan agresivitas seseorang. Saat kendali emosi seseorang rendah karena penyakit dan memang kepribadiannya yang kurang stabil, impuls lebih mudah memicu agresivitas. Jadi, perjalanan penyakit seseorang bisa menyebabkan rendahnya kendali emosi. Contohnya, ketika orang merasa sakit gigi, ia menjadi lebih mudah marah.

Hormon apa saja yang dihasilkan tubuh ketika marah?
Secara kajian biologi molekular, saat marah terjadi peningkatan konsentrasi neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Semua terjadi pada limbic system (pusat emosi) di hypothalamus, setelah itu diteruskan ke hypophycis. Baru kemudian diteruskan ke bagian tubuh lainnya, seperti dihasilkannya hormon-hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon tersebut contohnya seperti epinefrin, serotonin, dan testosteron. Pada orang tua, hormon testosteron dan progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah marah. Saat hormon seperti testosteron dan progesteron sedang dalam kondisi tidak seimbang, emosi seseorang akan kurang stabil.

Jadi, apa yang harus dilakukan ketika marah?
Semakin seseorang marah, semakin banyak hormon tersebut yang dikeluarkan. Dan itu sebenarnya merusak tubuh kita sendiri. Kalau hormon tersebut makin tinggi, detak jantung akan makin cepat. Kalau ternyata punya penyakit jantung, jantungnya bisa berhenti seketika. Sebenarnya, reaksi dalam tubuh itu selalu berusaha mencapai titik equilibrium (keseimbangan). Maka, jika tubuh kekurangan atau berlebihan sesuatu, itu yang tidak baik. Karenanya, marah yang berlebihanlah yang merusak.

Lalu, kenapa marah sering dikategorikan sesuatu yang destruktif?
Karena marah cenderung melahirkan perilaku-perilaku yang buruk, seperti hostilitas (pandangan permusuhan), mencelakai diri sendiri, membunuh diri, melukai orang lain, dan berkata kasar.

Apa yang biasa dokter lakukan ketika marah?
Kalau saya marah, saya lebih baik diam atau mengarahkan agresivitas pada hal-hal yang positif, seperti amalan-amalan baik dan membaca Al Quran. Itu malah lebih baik. Kalau tidak salah, ada di hadis yang memeritahkan kita untuk diam ketika marah. Karena saat diam, lebih sedikit hormon yang bekerja. Dan saat diam pun kita lebih banyak merenung.


Rahmat

Berpikirlah Sebelum Marah


 Seorang ibu mendapati anaknya sedang asyik bermain di tanah yang basah bersama teman-temannya. Mendadak, sang ibu menjadi gusar dan mendatangi anaknya. Emosinya memuncak dan berubah menjadi kemarahan saat dilihat baju anaknya sangat kotor terkena tanah basah. Tanpa pikir panjang, dengan diiringi bentakan, sang ibu menyeret anaknya masuk ke dalam rumah. Dari tertawa senang karena bermain, wajah sang anak berubah menangis sejadi-jadinya.

Pernahkah kita menemui situasi seperti itu, atau mungkin mengalaminya sendiri? Apa yang kita rasakan saat menjadi sang anak dan apa yang kita rasakan bila berada di posisi sang ibu? Anak dalam posisi tersebut bisa kita sebut sebagai korban kemarahan ibunya sementara sang ibu kita sebut saja sebagai pelaku kemarahan yang terpicu oleh kondisi anaknya yang bermain tanah. Kasus seperti itu adalah salah satu contoh kasus kemarahan yang dipicu oleh sesuatu di lingkungan. Lalu, sebenarnya apa itu marah dan kenapa kita mesti marah? Jika kita kembali membaca kasus di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kemarahan itu cenderung destruktif. Benarkah demikian?

Hakikat Marah 

Dalam kajian ilmu komunikasi, marah hakikatnya adalah salah satu bentuk dari komunikasi seseorang. Kala seseorang marah, artinya dia sedang berupaya menyampaikan pesan kepada orang lain. Bentuk penyampaiannya berbeda-beda, bergantung pada lingkungan dan kondisi sosial budaya yang membentuknya. Di Jepang, orang sering diam saat marah karena memang orang-orang Jepang tidak terbiasa mengekspresikan perasaannya. Hal itu akan berbeda jauh dengan orang Amerika yang lebih berterus terang mengungkapkan perasaannya, sama halnya dengan Suku Batak di tanah air kita.

Menurut kacamata psikologi, marah adalah bagian dari emosi. Di antara sekian banyak emosi, seperti gembira dan sedih, marah dikategorikan sebagai emosi yang negatif. Sebagaimana yang diungkapkan psikolog Alva Handayani, penyebab marah berbeda-beda pada tiap orang, tapi umumnya terjadi karena frustasi, tersinggung, atau memang karena temperamen.

Ada pula kemarahan yang terjadi karena kasus atau pengalaman seseorang di masa lalu. Kasus ini disebut kasus predisposisi. Pada kasus ini, kemarahan disebabkan oleh pengalaman buruk masa lalu yang menumpuk hingga pada akhirnya meledak ketika ada pemicunya. Kita sering menyaksikan contohnya di layar kaca, misalnya ketika seorang istri yang dikenal orang lain sebagai seorang wanita sabar, ternyata mampu menghabisi nyawa suaminya dengan cara yang sadis.

Emosi seseorang selama ini dinilai dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Faktor lingkungan memang berpengaruh sebagai musabab sekaligus pemicu kemarahan seseorang, tetapi sebenarnya faktor lingkungan amat bergantung pada faktor internal, yaitu kestabilan emosi. Dalam lingkungan yang sama, dua orang berbeda bisa bereaksi berbeda dalam menghadapi masalah yang sama, bergantung pada kendali diri yang dimiliki. Orang yang ritme hidup dan denyut jantungnya lebih cepat, ketika dihadapkan pada situasi lebih lambat, dia akan stres dan mudah marah. Begitu pun sebaliknya, orang yang emosinya tenang dan lambat jika dia masuk ke situasi yang lebih cepat, dia akan cepat marah dan stres.

Sementara dari kajian ilmu jiwa atau psikiatri, marah justru lebih dikenal sebagai bentuk gejala atau symptom. Kemarahan menandakan adanya suatu penyakit dalam tubuh seseorang. Dan memang dalam kajian psikiatri, seseorang yang sakit akan mudah marah karena penyakit yang dideritanya. Marah digolongkan ke dalam jenis gejala agresi yang positif karena merupakan ekspresi emosi yang ditampakkan. Penyebabnya disebut dengan istilah impuls atau dorongan. Jenis impuls ini bisa bermacam-macam, mulai dari kondisi lingkungan yang tidak kondusif dan penuh tekanan, makanan yang berprotein tinggi, rendahnya kadar oksigen pada otak, dan kasus hormonal.

Sama seperti dalam kajian psikologi, faktor lingkungan didaulat sebagai salah satu penyebab timbulnya kemarahan pada diri seseorang. Seseorang yang berprofesi sebagai pengemudi angkutan kota akan lebih mudah marah ketimbang seseorang yang bekerja di ruangan ber-AC. Tuntutan lingkungan yang penuh tekanan, bising, dan panas akan memacu emosi seseorang berada dalam kondisi tinggi. Begitu pun makanan yang berprotein tinggi. Menurut dr. Jaya Mualimin, makanan yang berprotein tinggi, seperti daging kambing, cenderung memicu seseorang untuk marah karena meningkatkan hormon-hormon tertentu dalam tubuh. Begitu pula dengan kurangnya oksigen pada otak yang membuat kesadaran seseorang menjadi turun dan rentan terhadap stimulus yang negatif.

Untuk kasus hormonal, seseorang menjadi mudah marah jika kadar hormon pemicu kemarahan tidak berada pada kadar semestinya. Singkatnya, proses kemarahan dalam tubuh bisa dijabarkan dengan dimulainya impuls yang diterima oleh limbic system (pusat emosi) di hypothalamus yang terletak di bagian otak tengah. Penerimaan impuls tersebut merangsang peningkatan neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Setelah itu, rangsangan diteruskan ke hypophycis yang kemudian dikirim ke bagian tubuh lainnya, seperti bagian tubuh penghasil hormon-hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon tersebut contohnya seperti epinefrin, noreprinefrin, serotonin, dan testosteron.

Itulah sebabnya gangguan hormonal, yaitu ketidakseimbangan kadar hormon –baik kelebihan maupun kekurangan– akan menyebabkan seseorang mudah marah. Kasus ini terjadi pada kaum wanita saat sedang menstruasi ataupun pada kaum lansia yang hormon testosteron dan progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah marah.

Jauh hari, Rasulullah saw. telah bersabda, "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan terbuat dari api.” (H.R Ibnu Asakir, Mauquf). Imam Ja’far ash-Shadiq pun berkata, “Sesungguhnya marah itu adalah bara api dari setan yang dinyalakan dalam hati keturunan Adam dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu apabila marah maka merahlah matanya dan berdetak cepat jantungnya, lalu masuklah setan (menguasai) ke dalam (diri)nya.”

Dari dua kabar tersebut, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa kemarahan pada diri seseorang identik dengan perbuatan dan sifat setan. Marah pun sering dikaitkan dengan sifat api yang panas, sementara api itu sendiri adalah bahan bakar penciptaan setan. Jelaslah kiranya jika Rasulullah dan para pemikir Islam banyak yang mengidentikkan kemarahan berasal dari setan.

Allah pun mengeluarkan setan dari surga semata-mata karena marah dan sombongnya pada Adam. Jika kini kemudian manusia dihinggapi rasa marah, bisa jadi itu adalah warisan dari setan yang memang gemar mengganggu manusia, salah satunya dengan mempermainkan emosinya sehingga jatuh pada perbuatan dosa.

Permainan emosi manusia yang dilakukan oleh setan pada akhirnya bermuara pada timbulnya kemarahan. Itu sebabnya, dari dua kajian keilmuan psikologi dan psikiatri, ada kesimpulan bahwa sesungguhnya kemarahan pada diri seseorang itu bergantung pada kestabilan emosi yang dimiliki orang tersebut. Makin stabil dan mampu seseorang mengelola emosinya, makin jauh ia dari marah yang berasal dari setan.

Apakah Kita Mesti Marah? 
   
Dilihat dari berbagai pandangan di atas, marah selalu identik dengan sesuatu yang negatif. Mulai dari dikaitkan dengan setan, tidak stabilnya emosi, hingga pertanda adanya penyakit dalam tubuh. Jika demikian, tampaknya bagus bagi kita untuk tidak memiliki rasa dan sifat marah. Tapi, kesimpulan tersebut bukanlah kesimpulan yang benar, sebab bagaimanapun, marah adalah fitrah yang Allah berikan pada manusia sebagai makhluk yang dibebani amanah untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Dengan marah pula, Allah menjadikan kita berbeda dengan malaikat, binatang, dan makhluk Allah lainnya, bahkan dengan setan. Itu karena manusia memiliki naluri dan rasio untuk mengelola kemarahannya.
   
Ketika menciptakan malaikat, Allah menjamin tidak akan ada sifat pembantahan. Itu yang menyebabkan malaikat selalu patuh pada Allah. Kita tidak akan bisa menemukan kemarahan pada malaikat, sebab malaikat memang diciptakan hanya untuk mematuhi perintah Allah. Firman Allah, ”Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud.” (Q.S. Al A’raaf 7: 206).
   
Sementara pada setan, Allah hanya membekalinya dengan sifat buruk, termasuk marah. Jadi, wajar jika setan tidak akan bisa masuk surga, sebab dari kemarahannya pada Adam dahulu justru telah mengusirnya dari surga dan ditakdirkan untuk menghuni neraka selamanya. Lain halnya dengan manusia yang dilengkapi kesempurnaan akal dan emosi yang bisa mengangkatnya pada derajat yang lebih tinggi, atau sebaliknya justru menjatuhkannya.
   
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan marah. Hanya saja, seringkali emosi saat marah diekspresikan dengan berlebihan dan tidak semestinya. Marah yang hanya disebabkan oleh permasalahan sepele, bisa berbuntut besar, sampai-sampai terjadi pembunuhan. Akibatnya, marah yang tidak terkontrol dan berlebihan akan merusak, baik pada diri sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya.
   
Marah akan cenderung menjadi destruktif ketika seseorang menuruti emosinya yang meledak-ledak. Kemarahan tidak akan menghasilkan manfaat jika hanya dilampaskan melalui kata-kata, ekspresi, dan perlakuan yang kasar. Itulah sebabnya, walaupun dalam keadaan marah, kita harus selalu mengedepankan rasio. Sebab dengan begitu, kemarahan kita menjadi kemarahan yang tidak sia-sia.
   
Psikolog E. Kristi Poerwandari menyatakan bahwa setidaknya ada dua poin yang membuat marah menjadi konstruktif. Pertama, marah haruslah karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subjektif. Banyak kasus kemarahan timbul di lingkungan keluarga, misalnya suami marah secara berlebihan karena merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal ini hanyalah pandangan subjektif sang suami. Kedua, marah haruslah terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kita ambil contoh dengan kisah ibu yang marah pada anaknya karena kedapatan main tanah yang kotor. Jika sang ibu menuruti emosinya dengan memarahi sang anak, bahkan hingga menariknya ke dalam rumah dan melarangnya bermain dengan teman-temannya, yang terjadi adalah si anak akan merasa sang ibu terlalu mengekang dirinya. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti ia akan berbalik menentang sang ibu.

Kisah akan berbeda jika saat sang ibu melihat anaknya bermain tanah, tidak ujug-ujug marah. Tapi, redam dulu emosinya dan panggil baik-baik sang anak lalu beri nasihat dan pengertian. Niscaya sang anak tidak akan menangis. Ini yang disebut marah yang konstruktif, yaitu marah yang dikelola agar ekspresi yang keluar tidak berlebih. Allah berfirman, ”Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 37).

Rahmat