Di antara sekian banyak hikmah pelaksanaan ibadah haji, terdapat dua hikmah penting yang sering dilupakan oleh umat Islam. Demikian kesimpulan wawancara MaPI bersama Ir. H. Bambang Pranggono MBA. IAI., pembimbing Ibadah Haji dan Umroh yang juga penulis buku Percikan Sains Dalam Al Quran. Berikut ini dua hikmah yang dimaksud.
Pertama, haji melatih kita untuk membebaskan diri dari rutinitas dan rasionalitas yang berlebihan. Dalam tulisan Ali Syariati disebutkan bahwa haji adalah suatu perjalanan spiritual untuk membebaskan diri dari rutinitas material sehari-hari. Hidup kita sekarang ini sudah sangat mekanistik; bangun pagi, mencari uang, makan, belajar, tidur, dan sebagainya. Lalu menikah, punya anak, dan seterusnya hingga akhirnya meninggal. Begitulah lingkaran itu berputar terus. Dalam hal ibadah, shalat juga demikian, rutin dan berputar. Zakat dan puasa juga dilakukan secara periodik. Sedangkan ibadah haji sangat berbeda dari itu semua.
Ketika melaksanakan ibadah haji, kita meninggalkan semua rutinitas dan siklus yang teratur itu dengan biaya mahal, meninggalkan peluang bisnis dan karir yang belum tentu kita dapatkan lagi. Kita tinggalkan keluarga, kampung halaman, dan segala kemapanan menuju daerah asing dengan budaya, bahasa dan makanan yang berbeda. Tanahnya pun kering dan tidak seindah alam Itali, Spanyol, Prancis, atau negara lainnya. Kita juga tidak mencari untung di sana, malahan mengeluarkan banyak uang. Juga tidak mengharapkan pelayanan yang baik dari orang-orang di sana karena kita tahu bahwa adat manusia di sana lebih kasar dibanding orang Indonesia. Jadi, apa yang sebenarnya dicari? Semua itu kita lakukan benar-benar hanya menuju Allah, perjalanan karena Allah. Paling tidak, sekali seumur hidup kita tidak memberhalakan otak kita. Tidak ada kausalitas, tidak perlu ada alasan-alasan atau sebab akibat. Karena Allah menyuruh kita melakukannya, ya sudah, kita berangkat ke sana.
Apa yang dilakukan di sana juga tidak rasional. Untuk apa kita mengelilingi batu sampai tujuh kali. Kalaupun ada penjelasan hikmah berkaitan dengan pusaran energi dan sebagainya, itu hanya rasio kita yang menghubung-hubungkan. Tapi pada hakikatnya kita melakukan hal yang tidak logis. Itulah sebuah napak tilas dari apa yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kita melaksanakan napak tilas mengunjungi tempat-tempat yang pernah ada perintah-perintah yang tidak rasional juga di sana. Pertama, Nabi Ibrahim diperintahkan meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang kering. Itu sangat tidak rasional apabila menggunakan akal logika. Tapi Ibrahim dan Siti Hajar lulus dengan ujian dan perintah itu. Siti Hajar bertanya, apakah ini perintah Allah? Kalau ini perintah Allah, aku terima karena aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan aku. Berikutnya, Nabi Ibrahim pun diperintahkan melakukan sesuatu yang juga irrasional, yaitu menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu datang melalui mimpi tiga malam berturut-turut. Iblis mengganggu dengan alasan mana mungkin Allah menyuruh hal yang tidak masuk akal itu. Tapi Ibrahim dan Ismail lulus dalam ujian ini, lebih memilih sesuatu yang irrasional yang datang dari Allah daripada iblis yang rasional tadi.
Jadi, memang ada saat tertentu di mana kita harus melepaskan logika dan mengenakan ketaatan dan kepasrahan. Dalam ibadah haji kita dilatih untuk mengimbangi pemberhalaan kita selama ini kepada rasio. Kalau kita sudah bisa irrasional sewaktu-waktu dan kemudian rasional lagi, maka kita akan menjadi manusia yang lebih lengkap dan bisa menikmati keindahan di mana pun. Tidak hanya lukisan yang naturalis yang bisa kita kagumi, tapi yang surealis dan abstrak pun bisa kita nikmati. Tidak hanya musik yang lembut dan melantun yang bisa dinikmati tetapi sewaktu-waktu juga bisa menikmati musik yang keras dan mengentak.
Kedua, perintah haji diserukan pada abad di mana komunikasi saat itu sangat susah; di padang pasir yang terik dan kering. Perjalanan ke sana sangat berat dan tidak menarik. Tetapi ternyata itu diperintahkan oleh Allah, pasti ada sesuatu yang lain yang diinginkan oleh Allah dari perintah itu. Salah satunya adalah internasionalisasi. Dengan perintah haji ini orang Islam diharapkan menjadi kosmopolitan, universal, dan mengglobal. Di sana kita dipertemukan dengan etnis, suku, dan budaya yang berbeda; lita’arofuu, untuk saling kenal-mengenal. Dengan adanya empat tempat yang harus dikunjungi dalam prosesi haji yaitu Mekah, Muzdalifah, Mina, dan Arofah, hal ini tentunya sudah merupakan suatu isyarat. Artinya, di sana akan terjadi perubahan konstelasi. Jamaah haji yang berkumpul di satu tempat akan bergeser ke tempat lain dan akan bertemu orang lain, demikian seterusnya.
Ketika kita di depan Ka’bah melakukan shalat atau berdoa, kita tentu berkomunikasi dengan Allah, tapi di sela-sela semua ritual itu kita harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Ngobrol, tukar pikiran, tukar ideologi. Di sana harus terjadi proliverasi atau pemerataan informasi. Dengan melakukan hal itu, setiap diri kita tentu akan menjadi lebih lapang dada menghadapi perbedaan, terjadi pencairan kekakuan dan kebanggaan diri. Jadi, sebenarnya adalah sesuatu yang kurang tepat adanya usaha pengelompokkan negara pada penginapan yang sektarian. Kalau orang Makassar mengelompok dengan orang Makassar, orang Sunda mengelompok dengan orang Sunda dengan alasan supaya selera makanan dan bahasanya sama, maka sebenarnya kita kehilangan aspek internasionalisasi.
Kita harusnya mencoba makanan orang lain, tahu budaya orang lain. Seharusnya Mekah itu menjadi sebuah festival kultural terbesar di dunia, kultur yang didasari tauhid. Kalau di pemondokan kita bercampur, maka ukhuwah islamiyah internasional akan cepat sekali terjadi. Dua atau tiga juta jemaah haji tiap tahun akan pulang dengan wawasan yang baru. Maka orang Islamlah yang akan lebih dahulu berpikir secara internasional dan global. Mungkin di pemondokan kita bisa bicara bisnis, pendidikan, dan hal-hal lainnya. (Agung)
Pertama, haji melatih kita untuk membebaskan diri dari rutinitas dan rasionalitas yang berlebihan. Dalam tulisan Ali Syariati disebutkan bahwa haji adalah suatu perjalanan spiritual untuk membebaskan diri dari rutinitas material sehari-hari. Hidup kita sekarang ini sudah sangat mekanistik; bangun pagi, mencari uang, makan, belajar, tidur, dan sebagainya. Lalu menikah, punya anak, dan seterusnya hingga akhirnya meninggal. Begitulah lingkaran itu berputar terus. Dalam hal ibadah, shalat juga demikian, rutin dan berputar. Zakat dan puasa juga dilakukan secara periodik. Sedangkan ibadah haji sangat berbeda dari itu semua.
Ketika melaksanakan ibadah haji, kita meninggalkan semua rutinitas dan siklus yang teratur itu dengan biaya mahal, meninggalkan peluang bisnis dan karir yang belum tentu kita dapatkan lagi. Kita tinggalkan keluarga, kampung halaman, dan segala kemapanan menuju daerah asing dengan budaya, bahasa dan makanan yang berbeda. Tanahnya pun kering dan tidak seindah alam Itali, Spanyol, Prancis, atau negara lainnya. Kita juga tidak mencari untung di sana, malahan mengeluarkan banyak uang. Juga tidak mengharapkan pelayanan yang baik dari orang-orang di sana karena kita tahu bahwa adat manusia di sana lebih kasar dibanding orang Indonesia. Jadi, apa yang sebenarnya dicari? Semua itu kita lakukan benar-benar hanya menuju Allah, perjalanan karena Allah. Paling tidak, sekali seumur hidup kita tidak memberhalakan otak kita. Tidak ada kausalitas, tidak perlu ada alasan-alasan atau sebab akibat. Karena Allah menyuruh kita melakukannya, ya sudah, kita berangkat ke sana.
Apa yang dilakukan di sana juga tidak rasional. Untuk apa kita mengelilingi batu sampai tujuh kali. Kalaupun ada penjelasan hikmah berkaitan dengan pusaran energi dan sebagainya, itu hanya rasio kita yang menghubung-hubungkan. Tapi pada hakikatnya kita melakukan hal yang tidak logis. Itulah sebuah napak tilas dari apa yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kita melaksanakan napak tilas mengunjungi tempat-tempat yang pernah ada perintah-perintah yang tidak rasional juga di sana. Pertama, Nabi Ibrahim diperintahkan meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang kering. Itu sangat tidak rasional apabila menggunakan akal logika. Tapi Ibrahim dan Siti Hajar lulus dengan ujian dan perintah itu. Siti Hajar bertanya, apakah ini perintah Allah? Kalau ini perintah Allah, aku terima karena aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan aku. Berikutnya, Nabi Ibrahim pun diperintahkan melakukan sesuatu yang juga irrasional, yaitu menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu datang melalui mimpi tiga malam berturut-turut. Iblis mengganggu dengan alasan mana mungkin Allah menyuruh hal yang tidak masuk akal itu. Tapi Ibrahim dan Ismail lulus dalam ujian ini, lebih memilih sesuatu yang irrasional yang datang dari Allah daripada iblis yang rasional tadi.
Jadi, memang ada saat tertentu di mana kita harus melepaskan logika dan mengenakan ketaatan dan kepasrahan. Dalam ibadah haji kita dilatih untuk mengimbangi pemberhalaan kita selama ini kepada rasio. Kalau kita sudah bisa irrasional sewaktu-waktu dan kemudian rasional lagi, maka kita akan menjadi manusia yang lebih lengkap dan bisa menikmati keindahan di mana pun. Tidak hanya lukisan yang naturalis yang bisa kita kagumi, tapi yang surealis dan abstrak pun bisa kita nikmati. Tidak hanya musik yang lembut dan melantun yang bisa dinikmati tetapi sewaktu-waktu juga bisa menikmati musik yang keras dan mengentak.
Kedua, perintah haji diserukan pada abad di mana komunikasi saat itu sangat susah; di padang pasir yang terik dan kering. Perjalanan ke sana sangat berat dan tidak menarik. Tetapi ternyata itu diperintahkan oleh Allah, pasti ada sesuatu yang lain yang diinginkan oleh Allah dari perintah itu. Salah satunya adalah internasionalisasi. Dengan perintah haji ini orang Islam diharapkan menjadi kosmopolitan, universal, dan mengglobal. Di sana kita dipertemukan dengan etnis, suku, dan budaya yang berbeda; lita’arofuu, untuk saling kenal-mengenal. Dengan adanya empat tempat yang harus dikunjungi dalam prosesi haji yaitu Mekah, Muzdalifah, Mina, dan Arofah, hal ini tentunya sudah merupakan suatu isyarat. Artinya, di sana akan terjadi perubahan konstelasi. Jamaah haji yang berkumpul di satu tempat akan bergeser ke tempat lain dan akan bertemu orang lain, demikian seterusnya.
Ketika kita di depan Ka’bah melakukan shalat atau berdoa, kita tentu berkomunikasi dengan Allah, tapi di sela-sela semua ritual itu kita harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Ngobrol, tukar pikiran, tukar ideologi. Di sana harus terjadi proliverasi atau pemerataan informasi. Dengan melakukan hal itu, setiap diri kita tentu akan menjadi lebih lapang dada menghadapi perbedaan, terjadi pencairan kekakuan dan kebanggaan diri. Jadi, sebenarnya adalah sesuatu yang kurang tepat adanya usaha pengelompokkan negara pada penginapan yang sektarian. Kalau orang Makassar mengelompok dengan orang Makassar, orang Sunda mengelompok dengan orang Sunda dengan alasan supaya selera makanan dan bahasanya sama, maka sebenarnya kita kehilangan aspek internasionalisasi.
Kita harusnya mencoba makanan orang lain, tahu budaya orang lain. Seharusnya Mekah itu menjadi sebuah festival kultural terbesar di dunia, kultur yang didasari tauhid. Kalau di pemondokan kita bercampur, maka ukhuwah islamiyah internasional akan cepat sekali terjadi. Dua atau tiga juta jemaah haji tiap tahun akan pulang dengan wawasan yang baru. Maka orang Islamlah yang akan lebih dahulu berpikir secara internasional dan global. Mungkin di pemondokan kita bisa bicara bisnis, pendidikan, dan hal-hal lainnya. (Agung)