Wawancara Ekslusif Bersama Ust. Aam Amiruddin :
Adakah keterangan dalam Al Quran
maupun hadis mengenai sejarah Ka’bah?
Sampai saat ini, saya belum
menemukan hadis sahih yang membahas secara detail mengenai Ka’bah. Memang ada
beberapa riwayat mengenai Ka’bah, hanya saja kebanyakan la asla lahu, tidak jelas asal usulnya. Keterangan paling jelas
yang dapat kita jadikan landasan pengetahuan tentang Ka’bah adalah apa yang ada
dalam Al Quran, salah satunya dalam surat
Ali Imran ayat 96, “Sesungguhnya rumah
yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Ada beberapa kisah berbeda tentang
sejarah pembangunan Ka’bah, bagaimana kita menyikapinya?
Memang ada beberapa pendapat yang
beredar di kalangan ulama. Ada
sebagian ulama yang tidak menerima keterangan apa pun jika bukan bersumber dari
ayat dan hadis sahih, namun ada pula ulama-ulama yang bersikap tawakkuf atau no comment, artinya mereka
tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Sebenarnya sikap tawakkuf para ulama ini tak hanya yang berkaitan dengan Ka’bah
saja, melainkan juga dalam hal ibadah haji yang lainnya, seperti mengenai Hajar
Aswad. Ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa Hajar Aswad adalah batu dari surga, namun
ada sebagian yang menentang. Hal ini berdasar pada sikap Umar bin Khattab yang
mengatakan bahwa Hajar Aswad hanyalah batu biasa. Umar pernah berkata, “Seandainya
aku tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan sudi mencium.” Ini gambaran
bahwa Umar tidak meyakini Hajar Aswad sebagai batu dari surga. Dengan demikian,
Hajar Aswad hanyalah dijadikan patokan memulai tawaf. Sebelum tawaf, umat Islam
mengisyaratkan atau menciumnya.
Para
orientalis mencemooh Islam karena melarang menyembah berhala tapi ternyata umat
Islam sendiri menyembah batu atau Ka’bah. Pendapat Anda?
Kita tidak bisa terlalu
menyalahkan mereka dengan pandangan itu karena mereka melihat perilaku orang
Islam sekarang yang juga terlalu berlebihan terhadap Ka’bah seperti meratapi
dan meraung-raung di seputar Ka’bah. Kalau mereka menyikapinya seperti Umar,
tentu ini tidak akan terjadi. Berkaitan dengan ritual tawaf dalam haji atau umrah,
Rasul memberikan beberapa alternatif mengenai Ka’bah ini, apakah memegang, mencium,
atau hanya memberikan isyarat. Dan Nabi mengatakan bahwa itu hanya ritual.
Jadi, bukan berarti mengabdi atau memuliakan batu. Tetap kita bermunajat kepada
Allah, Ka’bah hanya sebagai fokus dan arah penyeragaman saja.
Ada yang menafsirkan bahwa Ka’bah itu
merupakan pusat konsentrasi energi orang-orang yang melakukan shalat. Benarkah
demikian?
Itu adalah penafsiran. Seperti
saya bilang tadi, Ka’bah hanya sebuah tanda penyeragaman saja. Kata-kata dalam
Al Quran, “fawalli wajhaka satral
masjidil haram” itu tujuannya hanya sekadar penyeragaman. Justru tafsir
yang dihubung-hubungkan seperti inilah yang bisa jadi menimbulkan berbagai
pertanyaan atau tuduhan dari para orientalis tersebut.
Apa kaitan antara Ka’bah dan Baitul
Maqdis?
Dulu para nabi setelah generasi
kedua (keturunan Yehuda), yakni Nabi Musa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya,
termasuk Nabi Isa, semua berkiblat ke Baitul Maqdis. Nabi Muhammad, yang
merupakan nabi terakhir, memohon kepada Allah agar umat Islam diberi kiblat
yang berbeda karena umat Islam sebagai umat penutup. Allah mengabulkan
permintaan itu, Ia memerintahkan Muhammad dan umat Islam untuk beribadah
menghadap ke Baitullah. Kalaupun umat
Islam dahulu pernah shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, hanya gambaran
bahwa secara historis Islam merupakan agama Samawi, jadi tidak bisa dipisahkan
dengan agama-agama Samawi lainnya.
Apakah Baitul Maqdis adalah
Masjidil Aqsa?
Baitul Maqdis lebih menggambarkan
suatu area yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsa. Seperti Ka’bah yang berada
di area Masjidil Haram dan Masjidil Haram berada di area kota Mekah. Jadi, Masjidil Aqsa ada di Baitul
Maqdis. Masjidil Aqsa yang sekarang ini sudah mengalami banyak perubahan.
Hal apa saja yang berkaitan
dengan Ka’bah yang sering menyebabkan umat Islam salah kaprah?
Pertama, menganggap Ka’bah memiliki kekuatan magis, artinya Ka’bah
itu bisa memberikan kemuliaan dan kesejahteraan. Kedua, merasa afdol kalau sudah bisa menyentuh, memegang, terlebih mencium
Hajar Aswad. Apalagi setelah itu ia membangga-banggakan diri di depan
kawan-kawannya bahwa dirinya telah mencium Hajar Aswad dan memegang Ka’bah,
seolah-olah ibadah haji dan umrahnya tidak afdol jika tidak melakukan hal
tersebut. Mereka harusnya sadar bahwa mencium ataupun tidak mencium Hajar
Aswad, memegang ataupun tidak memegang Ka’bah, tidak ada hubungannya dengan
kesempurnaan ibadah haji atau umrah. Selain itu, mencium Hajar Aswad dan
mengusap Ka’bah seolah-olah menjadi lebih utama daripada shalat. Terlihat
ketika shalat berjamaah di sana,
Imam baru mengucapkan “assalam ….” Dan itu belum selesai, beberapa jamaah sudah
loncat mencium Hajar Aswad. Ini aneh dan salah, harusnya selesaikan dahulu
salam, kalau memang telah menyelesaikan shalat dan mau mencium Hajar Aswad,
silakan.
Bagaimana dengan keutamaan Masjid
Nabawi di Kota Madinah?
Ada beberapa keutamaan Masjid Nabawi, pertama aspek historisnya. Bagaimanapun
itu adalah masjid yang sangat dirindukan oleh Rasul. Kedua, selain beribadah di Masjidil Haram (karena keutamaannya
lebih tinggi), shalat di Masjid Nabawi akan mendatangkan pahala yang jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan pahala yang kita terima jika kita shalat di
masjid-masjid lain. Ketiga, Bukhari
menyebutkan dalam hadisnya bahwa di Masid Nabawi terdapat Raudah, salah satu taman dari taman-taman di surga. Sebenarnya itu
hanya merupakan isyarat tentang betapa mustajabnya apabila kita memanjatkan doa
di sana.
Walaupun shalat di Masjid Nabawi terutama di Raudah merupakan keutamaan, tapi tetap harus dipikirkan agar kita
tidak menyakiti orang lain (pada musim haji, ibadah di Raudah penuh sesak, sehingga tidak menutup kemungkinan karena
berebut, ada orang-orang yang akan tersenggol, terinjak, dll.) jika hal ini
terjadi, ini malah keliru.
Tak sedikit umat Islam yang
menunda-nunda melaksanakan ibadah haji karena merasa belum siap. Bagaimana
dengan hal ini?
Wajar kalau sebagian umat Islam
menganggap bahwa ibadah haji memerlukan persiapan-persiapan khusus karena
melibatkan quwwah maliyyah (kekuatan
materi), quwwah jasadiyyah (kekuatan
jasad), quwwah ilmiyyah (kekuatan
ilmu) –misalnya perlu belajar manasik, dan quwwah
ruhiyyah (kekuatan mental). Sehingga wajar kalau dianggap haji itu bobotnya
lebih tinggi dari ibadah yang lainnya karena mungkin melibatkan empat kekuatan
itu. Tapi juga keliru kalau kita terlalu menganggap persiapannya harus
benar-benar sempurna. Selama sudah memungkinkan untuk pergi, tidak perlu
beralasan, misalnya ada istilah “menunggu sampai insyaf”. Menurut saya tidak
perlu.
Jamaah haji Indonesia
terkenal “tukang belanja”, bagaimana tanggapan Anda?
Masyarakat Indonesia
memang telah dikenal sebagai masyarakat “tukang belanja”, tapi jangan salah,
ada hal positifnya. Orang-orang tahu kalau orang Indonesia berbelanja, itu tidak
diperuntukkan bagi dirinya, melainkan untuk silaturahmi atau oleh-oleh untuk
kerabat. Saya melihatnya tidak ada masalah. Tapi kalau tujuan belanja untuk
berfoya-foya, itu yang bermasalah.
Bagaimana pandangan Anda mengenai
Madinah dan Mekah sebagai sebuah kota?
Saya awam dalam bidang
arsitektur. Sebagai orang awam, saya melihat kota Mekah sebagai kota tambal sulam. Jadi, ilmu tata kotanya
aneh. Beda dengan Madinah yang tata kotanya sudah mulai rapi. Mungkin
penyebabnya adalah faktor geografis karena kita tahu Mekah dikelilingi oleh
gunung batu, sehingga untuk menata kota
agar lebih indah, terbentur keberadaan gunung-gunung batu tersebut. Kalau
Madinah daerahnya luas, datar, dan lapang, sehingga saya lihat dari aspek tata kota, Madinah itu lebih
indah daripada Kota Mekah.
Bagaimana segi sosial masyarakat
di kedua kota
tersebut?
Menurut pengalaman saya,
masyarakat asli Madinah lebih ramah daripada masyarakat Mekah. Jika dirunut
dari segi historisnya, mungkin karena dari dahulu orang Madinah adalah
pedagang. Memang jiwa pedagang itu selalu ingin membina hubungan baik dengan
siapa pun. Jadi penduduk asli Madinah lebih ramah daripada orang Mekah secara
hubungan sosialnya, tapi tetap kembalinya ke individual juga.
Bagaimana tingkat kecerdasan
orang-orang Arab?
Itu sangat individual. Tetapi
sudah menjadi karakter bangsa mana pun jika masyarakatnya berkecukupan atau
mendapatkan kekayaan tanpa kerja keras, mereka menjadi cenderung malas.
Begitupun sebaliknya, jika penduduk suatu bangsa memperjuangkan kekayaannya,
maka biasanya mereka akan memeras otaknya, jadi otomatis akan lebih kreatif dan
lebih cerdas. Repotnya bagi orang-orang yang mendapatkan kekayaannya dengan
mudah mereka merasa tidak perlu mengoptimalkan otaknya, padahal tidak sedikit
di antara mereka yang sebenarnya pintar. Yang saya khawatirkan adalah nasib dua
puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Pada saat persaingan global itu sudah
benar-benar terjadi, dikhawatirkan mereka memiliki jiwa yang kurang fight, mereka tidak siap dalam bersaing.
Dari segi modernisme dan
kecenderungan globalisasinya?
Gaung Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi di Mekah dan Madinah telah megalahkan kemaksiatan, walaupun kemaksiatan
memang ada. Kalau yang dimaksud modernisasi itu hal-hal yang terukur, seperti
bangunan dan yang berkaitan dengannya, memang Madinah lebih modern daripada
Mekah yang lebih tradisional. Tapi kalau yang dimaksud kemodernan itu gaya hidup, mungkin trendnya
ada di luar Mekah dan Madinah karena kedua kota ini dianggap kota suci yang relatif masih ada rem.
Di Madinah gaya hidup masyarakatnya lebih cenderung
keamerika-amerikaan, benarkah?
Sebenarnya di Saudi, gaya hidup Amerika sudah
menjadi gaya
hidup masyarakatnya. Contoh sederhana, minuman dan makanan produk Amerika semua
masuk ke sana.
Saya melihat bukan hanya di Madinah, tetapi juga di Mekah. Hanya memang di
Madinah hal seperti ini relatif terbuka. Ini jika saya mengamati sisi
modernitas lahiriahnya. Sebenarnya yang saya khawatirkan lebih ke modernitas
ideologi yang nantinya akan merusak akidah. Untuk ukuran penghasilan mereka,
membeli parabola seperti membeli pisang goreng. Padahal film-film yang
ditayangkan adalah film-film dari Eropa yang relatif bebas nilai. Saya khawatir
simbol-simbol lahiriah masyarakat Saudi masih Islam, sementara ideologi dan
cara berpikirnya sudah sekuler.
Bagaimana dengan kebijakan
pemerintah Arab Saudi?
Saya tidak begitu tahu sejauh
mana kebijakannya. Hanya yang saya tahu memang tidak ada teknologi yang bisa
melacak acara-acara yang ditayangkan lewat satelit/antena parabola.
Yang terakhir, apa saran Anda
berkaitan dengan masalah Ka’bah dan haji ?
Pertama, ketika membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut –Ka’bah— jangan dulu didustakan atau diiyakan kecuali ada riwayatnya.
Suatu tulisan kalau tidak ada riwayatnya, jangan dulu dipercaya karena banyak
yang “tersesat” setelah membaca buku-buku yang kurang berkualitas. Kedua, kalau akan melaksanakan haji
untuk yang pertama kali, disarankan ikut bimbingan karena akan sangat membantu.
Memang biaya ada tambahan, tapi untuk suatu hasil yang lebih bagus, uang
menjadi hal yang bisa diusahakan. Saya banyak menemukan keprihatinan orang yang
haji tanpa ikut bimbingan, kualitas ibadahnya menjadi sangat rapuh.
Agung